HUKUM - Korupsi di Indonesia sudah berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Kasus demi kasus terus mencuat dengan nilai kerugian negara yang fantastis, tetapi penegakan hukumnya tetap lemah dan tidak menimbulkan efek jera. Mulai dari skandal e-KTP, Jiwasraya, ASABRI, BTS Kominfo, Timah Bangka, Pertamina, hingga Antam, semuanya mencerminkan bagaimana korupsi telah menjadi sistematis dan mengakar di tubuh pemerintahan dan korporasi negara.
Saatnya kita mengakui bahwa mekanisme penindakan korupsi yang ada tidak lagi memadai. Hukuman yang ringan, vonis yang sering dikorting dalam kasasi, serta sistem penjara yang longgar bagi koruptor membuat kejahatan ini semakin menjamur. Bahkan, tidak sedikit koruptor yang masih bisa menikmati harta hasil jarahannya setelah bebas dari hukuman.
Oleh karena itu, pembuktian terbalik dan perampasan aset koruptor harus dijadikan strategi utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pembuktian Terbalik: Membalik Beban Hukum untuk Koruptor
Dalam sistem hukum pidana konvensional, beban pembuktian selalu berada di tangan jaksa atau penyidik. Artinya, negara harus membuktikan bahwa seseorang bersalah. Namun, dalam kasus korupsi, hal ini menjadi kelemahan yang fatal. Korupsi dilakukan secara sistematis dengan teknik pencucian uang yang kompleks, sehingga sering kali sulit bagi penegak hukum untuk menemukan bukti yang cukup kuat.
Solusinya? Pembuktian terbalik. Ini adalah metode yang mengharuskan tersangka atau terdakwa untuk membuktikan bahwa harta yang mereka miliki bukan berasal dari hasil korupsi. Jika tidak bisa membuktikan asal-usul harta kekayaan yang sah, maka aset tersebut harus dianggap sebagai hasil kejahatan dan disita oleh negara.
Pembuktian terbalik sebenarnya sudah diatur dalam **Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)**, tetapi penerapannya masih lemah. Negara harus **berani membuat mekanisme pembuktian terbalik sebagai kebijakan yang tegas dan tak dapat dihindari**, terutama untuk pejabat publik dan keluarganya.
Jika seorang pejabat memiliki rumah mewah, mobil sport, atau aset miliaran rupiah tetapi penghasilannya sebagai pegawai negeri hanya puluhan juta per bulan, logika hukumnya harus dibalik: bukan negara yang membuktikan dia korupsi, tetapi dia yang harus membuktikan bahwa semua asetnya diperoleh secara legal. Jika tidak, asetnya harus disita.
Perampasan Aset Koruptor: Keadilan Bagi Rakyat, Hukuman Paling Menyakitkan bagi Koruptor
Apa yang paling ditakuti oleh para koruptor? Bukan penjara, tetapi kehilangan aset kekayaan mereka. Banyak dari mereka yang hanya dihukum beberapa tahun, tetapi setelah keluar dari penjara, mereka tetap bisa hidup nyaman dengan kekayaan yang telah mereka sembunyikan.
Salah satu contoh nyata adalah kasus BTS Kominfo yang merugikan negara Rp 8, 32 triliun. Apakah seluruh uang hasil korupsi itu benar-benar bisa dikembalikan? Tidak. Yang terjadi justru hanya sebagian kecil uang yang bisa disita, sementara sisanya lenyap. Di sinilah perampasan aset menjadi penting.
Negara harus berani merampas semua aset yang diduga berasal dari hasil korupsi, tidak hanya milik si pelaku, tetapi juga yang telah dialihkan ke keluarga, kolega, atau pihak lain. Banyak koruptor yang menyembunyikan harta hasil jarahannya dengan cara mengatasnamakan aset-aset mereka atas nama anak, istri, saudara, atau bahkan rekan bisnis.
Di negara-negara maju seperti Singapura dan Inggris, perampasan aset ini sudah menjadi bagian integral dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, Inggris memiliki Unexplained Wealth Order (UWO), yang memungkinkan pemerintah menyita aset mencurigakan tanpa harus membuktikan terlebih dahulu bahwa pemiliknya melakukan kejahatan. Pemilik aset harus menjelaskan sendiri dari mana sumber uangnya.
Indonesia harus mengadopsi kebijakan serupa. Jika seorang pejabat atau mantan pejabat tidak bisa menjelaskan dari mana sumber kekayaannya yang berlebihan, maka negara harus menyitanya.
Tantangan dan Solusi dalam Menerapkan Kebijakan Ini
Tentu, penerapan pembuktian terbalik dan perampasan aset tidak akan berjalan mulus tanpa tantangan. Para koruptor akan berusaha melawan dengan berbagai cara, termasuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan hak asasi manusia.
Namun, hak asasi manusia tidak boleh digunakan sebagai tameng bagi kejahatan luar biasa seperti korupsi. Hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik, pendidikan yang layak, dan kesehatan yang terjangkau lebih penting daripada hak individu untuk mempertahankan harta hasil kejahatan.
Solusinya adalah dengan memperkuat regulasi dan penegakan hukum, termasuk:
1. Membentuk Pengadilan Khusus Aset Korupsi – Pengadilan ini hanya berfokus pada perampasan aset tanpa perlu menunggu vonis pidana.
2. Menggunakan Teknologi Forensik Keuangan – Menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan analisis big data untuk melacak aset hasil korupsi.
3. Menerapkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) secara agresif – Tidak hanya menghukum koruptor, tetapi juga pihak yang membantu mereka menyembunyikan aset.
4. Membangun sistem kerja sama internasional – Banyak aset hasil korupsi disembunyikan di luar negeri, sehingga Indonesia harus bekerja sama dengan negara lain dalam hal repatriasi aset.
Saatnya Bertindak, Bukan Sekadar Retorika
Sudah terlalu lama rakyat Indonesia menjadi korban dari permainan kotor para koruptor. Pembuktian terbalik dan perampasan aset bukan hanya pilihan, tetapi satu-satunya jalan untuk menghancurkan praktik korupsi di Indonesia.
Tanpa langkah tegas, korupsi akan terus berkembang biak seperti virus yang menggerogoti masa depan bangsa. Hukuman penjara saja tidak cukup. Koruptor harus merasakan penderitaan yang sesungguhnya: kehilangan semua yang telah mereka curi dari rakyat.
Inilah saatnya bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen bangsa untuk bersatu dalam perang total melawan korupsi. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?
Jakarta, 13 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi