JATENG- Alhamdulillah wa syukrulillah, puji dan syukur hanya kepada Allah. Hanya dengan anugerah dan kasih sayang-Nya, kita dalam keadaan sehat wal afiat dan dapat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1442 H. Puasa, menurut Wahbah Az-Zuhaily (juz 3, 1617-1620) memiliki faedah yang banyak baik dari sisi kejiwaan (ruhiyah) dan materi (maadiyah).
Orang yang berpuasa, mendapat balasan atau ganjaran khusus dari Allah SWT. Riwayat dari Sahal bin Sa’ad, Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya di surga, ada pintu yang dinamakan “Rayyan”. Di hari kiamat hanya orang-orang yang puasa yang akan memasukinya, tak ada lainnya selain mereka (yang berpuasa). Maka apabila mereka sudah masuk dikunci, dan tidak seorang pun masuk” (Riwayat Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, dan At-Tirmidzi). Dikutip juga dari At-Targhib wa t-Tarhib, 2/82-83). Orang yang berpuasa akan dijauhkan dari siksa atau adzab, karena dengan puasa, ia menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Karena itulah, puasa disebut sebagai sekolah akhlak yang sangat besar (madrasah khuluqiyah kubra) yang kurikulumnya perang melawan hawa nafsu (jihadu n-nafs) dengan mengendalikan keinginan, membangun kekuatan dan kesabaran terhadap hal-hal yang dilarang.
Puasa mengajarkan kepercayaan (amanah) dan mendekatkan diri kepada Allah, baik secara rahasia (sirri) maupun terang-terangan (al-‘alan). Nasihat Luqman kepada anaknya: “Wahai anakku, Ketika perutmu penuh maka tidurlah fikiran, membisulah hikmah (wisdom), dan duduklah seluruh anggota badan dari ibadah”. Puasa mengajarkan ketertiban dan kecermatan, karena puasa mendidik makan dan minum tertib pada waktunya. Kurang satu menitpun, jika belum saatnya berbuka, harus ditahan, demikian juga kala sahur dan imsak.
Puasa juga meningkatkan kelembutan kasih sayang dan persaudaraan, meningkatkan kesadaran empati pada orang yang lapar dan haus, dan membangun kepedulian sosial kepada sesama. Puasa juga menjadikan kehidupan yang baik dan indah, tidak berlebihan dalam mengonsumsi makan dan minum. Meskipun kadang praktiknya, ada yang justru berlebihan seperti “balas dendam”. Rasulullah SAW bersabda: “Puasalah kalian, kalian akan sehat” (Riwayat Ibn As-Sinny dan Abu Na’im dari Abu Hurairah). Al-Harits bin Kaldah mengatakan: “Perut adalah “rumah” penyakit, dan menjaganya adalah “kepala” semua obat” (Ibid., h. 1619). Puasa adalah jihad memerangi hawa nafsu.
Ini mirip dengan apa yang ditegaskan Rasulullah Saw sampaikan kepada para Sahabat, kala habis memenangi perang badar. “Raja’naa min al-jihad al-ashghar ilaa l-jihaadi l-akbar” artinya “Kita kembali dari perang kecil menuju perang besar”. Para sahabat bertanya: “Dan apa perang besar (wa maa al-jihaadu l-akbar) itu?”. Rasulullah Saw menjawab: “(Perang besar) adalah perangnya seorang hamba pada hawa nafsunya”.
Lebih dari itu, Rasulullah SAW menganjurkan pada anak-anak muda yang belum mampu menikah, untuk berpuasa, karena berpuasa itu membentengi diri. Puasa bermanfaat untuk “menghentikan nafsu yang bergejolak, yang bisa memporak-porandakan semua anggota badan, pandangan mata, pendengaran, dan kelamin”.
Puasa juga membangun kasih sayang dan kelembutan pada fakir miskin. Rasa lapar dan haus, membangkitkan kesadaran dan perasaan sensitif tentang betapa sengsaranya orang-orang miskin yang sering tertimpa kelaparan dan kehausan.
Baca juga:
Pilkada, Politik Uang Dan Korupsi
|
Jihad dalam Al-Qur’an dalam bentuk “Jaahada” disebut 28 kali, dan seabgian besar menunjukkan perintah berjihad dengan harta baru jiwa (jaahaduu fii sabiiliLlaahi bi amwaalihim wa anfusihim..) artinya “mereka berperang (berjihad) di jalan Allah dengan harta dan jiwa..” (QS. Al-Anfal (8): 72, At-Taubah (9): 20, 41, 44, 81, 88). Jihad juga bermakna bekerja keras, karena orang yang bekerja keras, Allah akan tunjukkan jalannya (QS. Al-Ankabut (29): 69) untuk meraih kesuksesan.
Kalau ada orang yang mengaku jihad, namun dilakukan dengan cara bom bunuh diri – yang menghancurkan dan menewaskan dirinya, karena iming-iming masuk surga — dan melawan pemerintahan yang sah, berarti ada pemahaman yang salah dalam memaknai jihad menurut Al-Qur’an, dan itu bukan jihad. Apalagi seperti yang dilakukan ISIS, atau organisasi teroris lainnya, apakah dengan nama ISIS atau afiliasinya, maka itu bukan jihad. Karena jihad yang besar, oleh Rasulullah saw, justru ditunjukkan dengan cara “perang melawan hawa nafsunya sendiri”. Semoga dengan kita menjalankan ibadah puasa ini, kita mampu perang total “perang melawan hawa nafsu kita sendiri” dari berbagai keinginan, rencana, dan tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, negara, dan kepatutan.
Kemenangan yang sesungguhnya, adalah manakala kita mampu mampu mengalahkan hawa nafsu kita yang berpotensi melakukan perbuatan yang bertentangan dengan aturan agama, negara, dan kepatutan. Allah a’lam bi sh-shawab.
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Alumnus Madrasah TBS Kudus, Guru Besar Hukum Islam Pascasarjana UIN Walisongo, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Rumah Sakit Islam-Sultan Agung (RSI-SA) Semarang, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat dan Anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat.
, 18 April 2021
Penulis: Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA (waketum MUI Jateng)
Editor: Sugiyanto