Tony Rosyid: Wahai Pemuda, Jangan Jadi Pecundang

    Tony Rosyid: Wahai Pemuda, Jangan Jadi Pecundang
    Dr. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

    OPINI - Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

    Itulah bunyi sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda ini lahir dari Konggres Pemuda II. Dimana seluruh organisasi pemuda berkumpul dan sepakat untuk mengangkat sumpah yaitu sumpah pemuda.

    Sebelumnya, 30 April-2 Mei 1926, para pemuda dari berbagai organisasi baik Jong Java, Jong Batavia, Jong Sumatera, Jong Ambon, dll berkumpul dan menyatukan satu cita-cita yaitu kemerdekaan Indonesia. Diperlukan wadah organisasi persatuan bagi para pemuda untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan itu. Dan Konggres Pemuda II menguatkan semangat memperjuangkan cita-cita kemerdekaan tersebut.

    Para pemuda saat itu mampu melampaui batas-batas kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kelompok. Melepaskan ego etnis, agama dan kelompok. Melebur jadi satu wadah perjuangan. Berjuang bersama untuk Indonesia merdeka.

    Saat itu, mereka menghadapi musuh bersama yaitu penjajahan Belanda. Penderitaan rakyat akibat penjajahan menggugah para pemuda untuk bersatu dan melakukan perlawanan. 17 Agustus 1945, Indonesia pun merdeka. 

    Di era Soekarno, para pemuda pun bangkit kembali. Tepatnya tahun 1966. Otoritarianisme Soekarno jadi isu bersama. Triggernya adalah pemberontakan PKI dan krisis ekonomi. Dan pada tahun 1967,   Soekarno yang 22 tahun berkuasa pun tumbang.

    Di era Soeharto, isunya pun sama. Yaitu otoritarianisme. Dwi Fungsi ABRI dan Golkar jadi pengawal utama Soeharto berkuasa selama 32 tahun. 1998, krisis ekononi jadi trigger para pemuda, khususnya mahasiswa. Dan, Soeharto pun terguling.

    Era reformasi lahir. Sudah 22 tahun. Muncul Jokowi. Banyak pengamat menilai jika di era Soeharto tentara menjadi pengawal utama, maka di era Jokowi posisi itu digantikan oleh polisi. Menurut mereka, hal ini setidaknya dilihat dari sejumlah posisi strategis bagi perwira polisi, besarnya anggaran kepolisian, maupun keberpihakan polisi terhadap kepentingan politik istana.

    Lepas itu semua, kekuasaan Jokowi seringkali dianggap tak sejalan dengan kemauan rakyat. Berkolaborasi dengan DPR, lahirlah banyak peraturan yang dianggap tak berpihak terhadap rakyat. Gelombang protes yang begitu masif dan terus menerus menjadi bukti nyata adanya penolakan dan perlawanan rakyat terhadap pemerintah maupun DPR.

    UU KPK, UU Corona, UU Minerba, RUU HIP dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Semuanya mendapatkan penolakan masif dari rakyat.

    Meski ditolak rakyat, semua aturan itu diketuk palu di DPR dan ditanda tangani presiden. Sah! Tersisa RUU HIP yang masih mencari celah.

    Protes rakyat tak berhenti. Diantaranya dari mahasiswa dan pelajar. Beberapa mahasiswa dan pelajar ditangkap dan jadi tersangka. Kantor GPI-PII diobrak abrik. Bahkan ada yang mati saat berhadapan dengan aparat. Belum lagi nasib sejumlah pengkritik pemerintah. 

    Di dalam demo, selalu ada provokator. Entah siapa dan diutus oleh siapa. Pelaku dan otaknya terlalu canggih hingga gak terendus. Mahasiswa dan pelajar terjebak dan jadi korban. Pasal tindak anarkis berhasil menjerat mereka.

    Di luar demo, kita hanya bisa kasih nasehat: jangan terprovokasi. Jangan melakukan tindakan anarkis. Jangan terjebak tindak pelanggaran hukum. 

    Nampaknya, ada pihak yang melakukan cipta kondisi agar demo anarkis dan mahasiswa bisa ditangkap. Apakah ketika sejumlah mahasiswa ditangkap akan menyurutkan mental mereka dan mengendorkan demo?

    Bergantung! Sebab, ada mahasiswa yang dilobi, lalu dikasih uang, kemudian berhenti demo. Ada mahasiswa yang ketika temannya ditangkap lalu ciut nyalinya. Ada mahasiswa yang malah nyalahin teman-temannya yang ditangkap. Mereka fokus urus IP, karena takut kalau lulus gak dapat kerjaan. Inilah tipologi mahasiswa pecundang, begitu kata para senior mereka. 

    Bagi mahasiswa yang terus berteriak tak berhenti menyuarakan kepentingan rakyat: untuk buruh, untuk pendidikan, untuk pribumi, untuk keselamatan bangsa, merekalah yang kelak paling siap memimpin bangsa ini kedepan. Mereka adalah para mahasiswa tangguh yang terus menjaga idealisme, patriotisme, dan nasionalismenya dengan terus mematangkan diri sebelum kelak estafet kepemimpinan bangsa diserahkan kepada mereka.

    Saat ini, isu yang mereka hadapi adalah otoritarianisme. Mirip yang dihadapi oleh mahasiswa era 1928, 1966 dan 1998. Apakah mahasiswa sekarang akan sekuat dan sehebat para pendahulunya? 

    Jakarta, 28 Oktober 2020

    Tony Rosyid

    Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

    Tony Rosyid
    Tony Rosyid

    Tony Rosyid

    Artikel Sebelumnya

    Sekda Bagikan Bingkisan Idul Fitri untuk...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mendekap Sukacita Natal, Ibadah Bersama Warga Binaan Nasrani di Rutan Balikpapan
    Pasca Pilkada Aman, Polda NTB Gelar Silaturahmi dan Bakti Sosial di Sumbawa Barat
    Kanit Sabhara Polsek Tirtajaya Sambangi Desa Pisangsambo pada malam hari serta menyampaikan Pesan-pesan Kamtibmas
    Bupati Barru Tinjau Dapur Umum Pasca Banjir, Pastikan Kebutuhan Makanan untuk Pengungsi Terpenuhi
    Dalam rangka Antisipasi Geng Motor dan Tawuran serta GU Kamtibmas di lingkungan Masyarakat, Anggota Polsek Tirtajaya melaksanakan Patroli Prekat dan Giat KRYD di Wilayahnya

    Ikuti Kami