Jakarta - Catatan Perjalanan Egy Massadiah - Peristiwa itu terjadi Rabu (7/10/2020) malam di lobby Hotel Asana, Jl. Muh Yamin, Biak, Papua.
Adalah Bupati Biak Numfor, Herry Ario Naap yang berhasil menahan Doni Monardo tinggal lebih lama di daerahnya.
Doni pun tak bisa menolak tawaran Bupati Naap mengelilingi kepulauan Biak-Numfor dengan kapal. Koorspri Kolonel Czi Budi Irawan gesit me-reschedule jadwal kegiatan yang tersusun rapi dari Jakarta.
Yang terjadi kemudian, jadwal rapat koordinasi penanganan Covid-19 di Biak bergeser dari pagi menjadi siang. Itu artinya, jadwal take off ke Bali (agenda terakhir setelah sebelumnya berkunjung ke Gorontalo dan Manado) pun mundur dari siang menjadi sore. Berarti pula, pupus bayang-bayang sejumlah anggota rombongan yang ingin menikmati Pulau Dewata.
Di jadwal semula, rombongan landing di Ngurah Rai Denpasar Kamis sore. Sore hingga malam, tidak ada kegiatan. Mungkin sudah ada yang membayangkan menikmati sunset di pantai Kuta. Sebab, kegiatan rapat koordinasi penanganan Covid-19 dengan Gubernur Bali dan jajarannya, baru berlangsung esok pagi, Jumat (9/10/2020).
“Ke Bali kan dekat. Lagi pula, ke Bali kan sudah beberapa kali. Tapi ini pak Bupati menawarkan keliling perairan Biak Numfor. Kapan lagi? Jenderal MacArthur saja betah di Biak, masak kita menolak kesempatan ini?” kata Doni Monardo, antusias.
Alhasil, agenda keesokan pagi (Kamis 8/10/2020) pun sedikit berubah. Bukan olahraga lalu rapat, tetapi olahraga di hotel masing-masing, dan kumpul di Pelabuhan Biak pukul 08.00 WIT untuk acara dadakan, incognito Kepulauan Padaido, Biak.
Stop. Sampai di sini makin jelas kiranya. Ada unsur “sejarah” dalam kalimat Doni Monardo, ketika menyebut nama Jenderal MacArthur. Itu artinya Doni mengajak kita mengenang kembali “perang Biak” (Biak Battle) yang melibatkan tentara Sekutu pimpinan Amerika Serikat melawan pasukan Jepang yang menguasai Biak (dan wilayah Indonesia lain), tahun 1944.
Jenderal Douglas MacArthur, oleh Amerika Serikat (dan Sekutu) tak pelak adalah seorang pahlawan Perang Pasifik. MacArthur dikenang sebagai penakluk Jepang dengan strategi Leap Frog (Lompat Katak). Sebuah strategi merebut satu demi satu pulau strategis di kepulauan Pasifik barat daya dari Solomon-Papua-Palau-Filipina hingga Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945.
Pemerintah Amerika Serikat kemudian menganugerahi pangkat jenderal besar (dengan lima bintang melingkar di pundak) kepada MacArthur. Sejumlah daerah di Indonesia sempat disinggahinya, antara lain Morotai dan Biak. Di Pulau Morotai, kepulauan Halmahera, Maluku Utara bahkan berdiri megah patung MacArthur setinggi 20 meter.
Baca juga:
Pilkada, Politik Uang Dan Korupsi
|
Di Biak, Papua, nama MacArthur juga terpancang, pasca kemenangan gilang-gemilang atas pasukan Jepang melalui pertempuran hebat antara
Sebelum Morotai, Papua termasuk daerah yang lebih dulu diduduki. Pada 22 April 1944, MacArthur dan stafnya mendarat di Jayapura, setelah sekitar pantai diamankan. Kegembiraan perebutan kota penting di Papua dari tangan serdadu Jepang itu dirayakan dengan es krim soda. Sebulan kemudian, tepatnya 27 Mei 1944, pasukan Sekutu merangsek Biak.
Pertempuran hebat terjadi di Biak, dan berujung pada bertekuk-lututnya Dai Nippon awal Juni, melalui serangan masif yang dilancarkan dari Pulau Owi. Pulau cantik di gugus kepulauan Padaido itu hingga hari ini masih menyisakan banyak peninggalan Perang Dunia II. Termasuk bangkai kapal perang di perairan Biak, yang acap jadi objek wisata menyelam (diving).
Sekian dulu kisah perang Biak. Kembali ke kegiatan Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Pagi itu, Kamis (8/10/2020) kapal motor Express Bahari 99 sudah siap di Pelabuhan Biak. Perlahan kapal membelah ombak tipis ditengah hujan gerimis. Angin sepoi pagi menyapu sebagian wajah rombongan.
Menempuh perjalanan sekitar 1, 5 jam, melintasi gugus kepulauan Padaido. Ketika melintas di pulau Owi, pulau bersejarah, kapal melambat, tapi tidak merapat. Dari atas kapal, kita bisa melihat dengan jelas pulau yang sempat menjadi basis tempur pasukan MacArthur menggempur Jepang yang bertahan di gua-gua pertahanan.
Kapal cepat KM Express Bahari 99 milik PT Belibis Papua Mandiri ini sehari-hari menjadi salah satu sarana transportasi angkutan laut yang melayani pelayaran Waropen-Biak maupun Waropen - Serui. Dari awak kapal, saya mendapat info kapal itu milik seorang pengusaha Bugis, asal Siwa Kab Wajo Sulsel, kampung orang tua saya. Pagi itu kapal mendapat spesial order mengangkut rombongan Doni Monardo keliling perairan Biak.
Perlu dicatat, tidak semua pulau kecil di Biak bisa disandari kapal jenis Express Bahari. Sebab, selain banyak terumbu karang, sejumlah pulau juga dikenal sangat dangkal. Bahkan, di jam-jam tertentu, ketika air laut surut, pulau satu dan pulau lain bisa terhubung melaui hamparan pasir putih.
Syahdan, kapal pun sandar di Pulau Wundi di teluk Cendrawasih, dan terdapat dermaga yang bisa disandari kapal motor ukuran besar. Dari Wundi, Doni dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Pulau Ureb atau Pulau Urbi dengan kapal motor kecil.
Rintik hujan masih turun. Toh, tidak menyurutkan langkah Doni Monardo menaiki kapal motor diikuti rombongan yang lain. Total tiga kapal motor melaju beriringan menempuh jarak kurang lebih 15 menit. Di antaranya tampak Bupati Herry Ario Naap, Kasdam Brigjen Bambang Trisno, Kasrem 173/PVB (Praja Vira Braja) Biak, Kolonel Inf Yusuf Ragainaga, Dandim Biak Letkol Inf Arief Setiyono, Kapolres Biak AKBP Murjatmo Edi, Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Biak Numfor, Fansisco Olla, dan lain-lain. Irtama BNPB Tetty Saragih, Deputy 1 BNPB Wisnu Widjaja, PLT Deputy 3 BNPB Dody Ruswandi, Deputy 5 BNPB Prasinta Dewi, Ketua Relawan Andre Rahadian dan Kabid Komlik Satgas Hery Trianto termasuk dalam rombongan.
Komandan Korem 173/PVB Brigjen TNI Iwan Setiawan tidak tampak di antara mereka. Saya dapat info langsung dari Danrem Iwan, ia sudah menghubungi Doni Monardo, mantan komandannya di Kopassus. Hari yang sama, Iwan yang penakluk Gunung Everest pada tahun 1997, sedang tugas lapangan, meredam riak-riak Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di teritori yang dibawahkannya.
Tuhan Maha Baik. Tiba di Pulau Ureb, hujan reda sama sekali. Pulau itu kecil saja. Doni berjalan kaki mengitari pulau itu tak lebih dari 10 menit. Di satu sudut pulau, sekelompok ibu-ibu dibantu bapak-bapak tengah menyiapkan hidangan ikan bakar, kerang bakar, dan aneka menu olahan tradisional yang lezat.
Ikan bakar, sotong dan kerang bakar, sambal uleg, dan sayur bunga pepaya, makin lezat saat disantap di bibir pantai berpasir putih. Penyempurnanya adalah minuman kelapa muda yang dipetik langsung dari pohon-pohon nyiur yang tumbuh rimbun di Pulau Ureb.
*RS Rujukan Covid Biak*
Matahari sudah merambat condong ke barat ketika Doni Monardo dan rombongan memulai kegiatan resmi di Biak Numfor. Pukul 15.00 WIT, Doni langsung meluncur ke Rumah Sakit Rujukan Covid-19 Biak Numfor. Komentar singkat meluncur dari dokter BNPB, dr Riswandi Pasaribu pasca mengikuti kegiatan peresmian rumah sakit rujukan Covid-19 yang pembangunannya mendapat dukungan penuh Satgas Covid-19.
“Luar biasa... Fasilitasnya lengkap, tidak kalah dengan rumah sakit rujukan Covid-19 di Wisma Atlet, ” kata dr Riswandi.
“Benar-benar standar internasional. Bed-nya pun sudah reclining, ” imbuh Tommy Suryo Pratomo, Dubes RI di Singapura yang juga Tenaga Ahli Kepala BNPB.
Acara berlanjut ke aula Pemkab Biak Numfor. Rapat kerja penanganan Covid-19 bersama unsur Muspida yang diakhiri dengan penyerahan bantuan simbolis dari Ka Satgas Doni Monardo kepada Bupati Herry Ario Naap.
Bersamaan sunset di cakrawala Biak, pesawat rombongan Doni Monardo meninggalkan Lanud Manuhua Biak, menuju Lanud I Gusti Ngurah Rai, Denpasar - Bali.
Makna tersirat dari serangkaian kegiatan Doni Moanaro adalah “sejarah yang berulang”. Strategi perang MacArthur tidak jauh dengan strategi perang Sun Tzu yang acap dilansir Doni Monaro: “Kenali dirimu, kenali musuhmu, dan kenali medan tempurmu. Seribu peperangan, seribu kemenangan”.
Pandemi Covid-19 tak ubahnya siklus. Pandemi virus corona sudah berlangsung sejak November 2019 sampai hari ini. Sebelum virus ini masuk, Indonesia juga sempat diguncang virus Flu Spanyol yang merenggut nyawa jutaan orang sejak Maret 1918 sampai September 1919.
“Sebelum obat dan vaksin ditemukan, tidak ada cara menanggulangi kecuali patuh dan taat pada protokol kesehatan. Setiap kita, wajib mamakai masker, wajib menjaga jarak dan hindari kerumunan, serta wajib mencuci tangan memakai sabun, ” pesan Doni Monardo. (Ratna, Egy Massadiah)