JAKARTA - Era digital ditandai dengan beralihnya dunia informasi ke media sosial. Di Indonesia, pengguna media sosial tembus angka 130 juta orang. Tak ada media, baik elektronik apalagi cetak yang mampu menandingi jumlah ini.
Hari ini, pertarungan opini ada di medsos. Di medsos, orang berupaya mempengaruhi persepsi publik. Dan ini berlaku untuk semua isu dan peristiwa.
Terkait kasus Laskar FPI vs polisi, hitungan jam, bahkan menit atau malah perdetik, beritanya cepat menyebar dan viral di media sosial.
Antara FPI dan polisi terus bersaing dan berebut kepercayaan publik. Media sosial jadi arena yang efektif. Di babak pertama ini, nampaknya 3-0 FPI memenangkan pertarungan di medsos.
Pertama, FPI lebih cepat membuat pernyataan. Sekitar jam 12.00 WIB, FPI mengumumkan bahwa ada enam anggota laskarnya diculik oleh Orang Tak Dikenal (OTK) di tol Kerawang-Cikampek. Dan belum ditemukan.
Jelang beberapa jam kemudian, Kapolda Metro Jaya konferensi pers bahwa ada enam anggota FPI ditembak karena menyerang polisi. Dari keterangan pers pihak kepolisian inilah FPI baru tahu bahwa OTK yang berpakaian preman dan tanpa identitas itu ternyata adalah aparat kepolisian.
Tapi, publik sudah terlanjur punya memori bahwa enam orang itu diculik, lalu belakangan diketahui ternyata mereka sudah ditembak mati. Meski sebagian tetap bertanya: ini mana yang bener? Diculik lalu ditembak? Atau menyerang, lalu ditembak? Kalau ada baku tembak, dimana TKP-nya? Biasanya polisi punya bukti setidaknya foto atau video kejadian. Ini kok gak ada? Sekali lagi, ini dipengaruhi siapa yang lebih cepat memberi informasi.
Kedua, pernyataan FPI yang beredar dan viral di medsos lebih detail dalam menjelaskan kronologi peristiwa penembakan tersebut. Data pelaku, rekaman percakapan, lokasi, plat nomor mobil dan kronologinya secara detail diungkapkan dalam empat halaman yang secara resmi diedarkan oleh DPP FPI. Soal ini, polisi kalah detail.
Ketiga, informasi dari FPI konsisten dan tidak mengalami perubahan. Sumbernya satu: dari DPP FPI. Berbagai pernyataan baik dalam konferensi pers, wawancara TV dan keterangan dalam surat resmi yang beredar sama.
Sementara informasi dari pihak kepolisian mengalami perkembangan. Konferensi pers Kapolda Metro Jaya mengungkapkan bahwa ada penyerangan dari pihak FPI kepada aparat. Merasa terancam, aparat lalu menembak enam laskar itu hingga mati.
Selang sehari muncul informasi bahwa Laskar FPI merebut Senpi milik polisi. Informasi berikutnya para pelaku penembakan sudah diserahkan ke Propam Polda Metro Jaya. Diduga ada salah prosedur.
Tiga poin ini membuat informasi FPI lebih mendapatkan apresiasi dari publik dibanding terhadap pihak kepolisian. Meski ada karangan bunga ke Polda dan muncul pernyataan ormas di DKI sebagai bentuk dukungan, namun tetap kalah masif dengan apresiasi publik ke FPI di media, terutama medsos.
Apapun opini dan persepsi yang berkembang ke publik, satu saja harapan rakyat bahwa kebenaran harus diungkap. Kasus ini mesti terang benderang sehingga rakyat punya informasi yang benar. Yang lebih penting dari ini semua adalah tegaknya hukum di negara hukum.
Karena itu, perlu pihak ketiga. Yaitu Tim Pencari Fakta atau TPF. Kalangan profesional yang punya independensi, integritas dan kapasitas perlu dilibatkan dalam TPF ini. Tak ada cara lain, kecuali negara ini membentuk TPF. Dari TPF, rakyat menunggu kasus kematian enam anggota FPI ini dibongkar seterang-terangnya, sehingga gak liar informasinya.
Jakarta, 9 Desember 2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa