JAKARTA - Lahirnya Perpres No 10 Tahun 2021 tentang investasi di industri miras yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 2 Pebruari lalu menuai banyak penolakan dari hampir semua kalangan masyarakat.
Alasan utama penolakan Perpres Miras sesungguhnya hanya satu: karena Miras dilarang agama. Memang tampak sangat normatif. Tapi, inilah faktanya. Pelegalan Miras dianggap menentang, dan bahkan menantang agama. Masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama. Atas alasan "melindungi eksistensi agama" masyarakat menolaknya.
Alasan logisnya, penolakan legalisasi investasi Miras karena besarnya dampak destruktif dan berbahayanya bagi masyarakat. Baik secara personal, yaitu bagi pihak yang mengkonsumsi. Maupun pengaruhnya secara sosial. Mulai dari kesehatan fisik dan mental, ambruknya moralitas, kerusakan saraf, kecelakaan, keonaran, konflik sosial, hingga tiga juta angka kematian setiap tahun akibat Miras (data WHO 2016).
Sejumlah kalangan sempat menyesalkan kenapa Perpres Miras ini lahir di Indonesia yang notabene penduduknya adalah para pemeluk agama. Dimana semua agama melarangnya. Tapi, kekecewaan itu mesti diakhiri karena Presiden Jokowi telah mencabut Perpres Miras tersebut pada tanggal 2 Maret kemarin.
Yang menarik, mengapa Presiden Jokowi buru-buru mencabut Perpres No 10 Tahun 2021 ini? Hanya berumur satu bulan. Sangat singkat. Padahal, ada banyak aturan dan kebijakan sebelumnya yang dibuat atau diusulkan pemerintah tetap berlanjut, meski gelombang protes terjadi begitu besar dan terus menerus. Diantaranya adalah Revisi UU KPK, UU Minerba, dan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Keputusan pemerintah adalah keputusan politik. Pertimbangannya mesti juga politik. Selama protes bisa dikendalikan, maka lanjut. Jika potensi protes akan besar dan pemerintah khawatir tak sanggup untuk mengadapinya, proses berhenti. Kalau sudah legal, maka dicabut.
RUU HIP berhenti setelah gelombang protes tak terbendung. Satu persatu parpol, melalui fraksinya di DPR, mundur teratur. Kali ini, hal yang sama terjadi pada Perpres No 10 Tahun 2021 tentang Miras. Setelah satu bulan diterbitkan, dan protes berpotensi membesar, Presiden Jokowi mencabutnya.
Kenapa RUU HIP berhenti pembahasannya, dan Perpres Miras dicabut? Karena potensi gelombang protesnya sangat besar. Kenapa potensi protesnya besar? Karena Perpres Miras ini dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi keberagamaan masyarakat. Terutama masyarakat muslim di Indonesia. Termasuk wilayah yang sensitif bagi umat beragama, khususnya umat Islam.
Baca juga:
Pemprov Jambi Komit Perangi Narkoba
|
Langkah Presiden Jokowi mencabut Perpres No 10 Tahun 2021 yang merupakan turunan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perlu disambut baik. Protes MUI, NU, Muhammadiyah, dan berbagai ormas lainnya, serta masyarakat Papua dan Sulawesi Utara telah didengar dan diakomodir istana. Presiden telah merepon dengan bijak dan memutuskan untuk mencabut Perpres tersebut.
Berhentinya pembahasan RUU HIP dan dicabutnya Perpres Miras harus dijadikan pelajaran buat bangsa besar bernama Indonesia. Pertama, kedepan tidak boleh lagi ada aturan yang melegalkan apa yang diharamkan oleh agama. Sebab, masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Semua ingin bangsa ini menjadi bangsa yang taat dan patuh beragama, apapun agama yang dipeluknya. Dengan taat beragama, berarti otomatis taat pula pada pancasila.
Kedua, semua aturan dan kebijakan yang melanggar agama, berarti juga harus dianggap sebagai pelanggaran terhadap pancasila. Karena itu, harus dihindari.
Ketiga, perlu terus mengedepankan komunikasi dan dialog yang persuasif, agar situasi politik tetap kondusif. Dalam kondisi politik yang kondusif, semua permasalahan bangsa bisa diselesaikan secara bersama-bersama.
Jakarta, 3 Maret 2021
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa