Tony Rosyid: Di Era Jokowi Kebobrokan Negara Terbongkar

    Tony Rosyid: Di Era Jokowi Kebobrokan Negara Terbongkar

    JAKARTA - Menteri Sosial, Julian Batubara kena OTT KPK (5/12). Jadi tersangka dengan tuduhan korupsi 17 M. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga di-OTT KPK (25/11). Gak usah kaget. Biasa saja. Entar juga akan ada yang tertangkap lagi.

    Menteri, ketua dan sekjen partai, anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat lainnya, entah sudah berapa banyak dari mereka yang ditangkap KPK. Tak berarti yang tidak tertangkap itu bersih dari korupsi. Belum tentu juga. Ini hanya karena faktor apes dan bernasib sial. 

    Korupsi di Indonesia bukan semata-mata karena bobroknya moral individu, tapi lebih karena faktor sistem, kultur dan mentalitas bangsa. 

    Publik gak usah berlebihan mengapresiasi KPK, seolah KPK sudah siuman setelah sekian lama dikerangkeng oleh UU No 19 Tahun 2019. 

    Para pejabat secara umum ditangkap karena pertama, dua alat bukti sudah ada. Kedua, tak ada perlindungan orang kuat. Tepatnya, kecolongan, sehingga tak sempat minta perlindungan. Ketiga, seringkali penangkapan pejabat sarat unsur politik. 

    Meskipun dua alat bukti ada, tapi pelindung anda orang kuat dan selalu menjaga anda, boleh jadi anda selamat. Asal tidak di-OTT. Belajar dari kasus Bank Century, dana BLBI, e-KTP sampai PAW anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku. Kok menguap? Publik berpikir ada orang kuat di belakangnya. 

    Koruptor kakap Djoko Djandra yang sembilan tahun jadi buronan dan menyeret sejumlah perwira berpangkat bintang hanya dituntut 2 tahun, sementara yang dituduh melanggar UU ITE diancam 6 tahun. Sampai disini anda mesti paham bagaimana penegakan hukum di negeri ini. Banyak yang ganjil. 

    Korupsi pejabat akan "sulit dikurangi" selama penegakan hukum dan sistem politik tidak berubah. Ini jadi kata kunci. 

    Ketidakadilan hukum jadi warisan dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun. Dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Hanya saja, sekarang klimaks. Sepertinya, para pejabat sudah banyak belajar kepada generasi sebelunnya bagaimana melakukan korupsi secara efektif. Lihai! Meski kadang ada yang kepleset dan ditangkap KPK. Apes saja. 

    Praktek penegakan hukum semakin rusak ketika aparat hukum ditarik di gelanggang politik. Tak jarang hukum justru dijadikan instrumen untuk menghabisi pertama, mereka yang kritis terhadap penguasa. Kedua, lawan-lawan politik penguasa. Kriminalisasi adalah suatu keniscayaan ketika aparat hukum dilibatkan dalam politik.  

    Di sisi lain, cost pemilu sangat besar. Para calon, baik caleg, capres maupun calon kepala daerah, mereka butuh modal besar. Umumnya, mereka tak mampu membiayai dengan dana pribadi. Dana cekak memaksa mereka harus melibatkan investor.

    Kalau umumnya anggota DPR tak mendengar lagi suara rakyat, ya wajar. Karena saham mayoritasnya bukan milik rakyat, tapi milik para pengusaha yang membiayai mereka. Suara rakyat sudah "dibeli putus" saat pemilu. Tepatnya ketika terjadi serangan fajar. 50 ribu sampai 100 ribu per suara. Selesai! Rakyat yang suaranya sudah dibeli putus, ya gak pantas kalau berteriak. Karena sudah gak punya saham di gedung DPR. 

    Ini juga berlaku bagi banyak kepala daerah, dan mungkin juga presiden. Jadi, kalau mereka gak dengar rakyat, ya gak salah. Karena sebagian besar rakyat sudah dibeli suaranya saat pemilu. 

    Hukum yang tidak tegak lurus dan cost politik yang sedemikian tinggi menyebabkan korupsi makin subur. Tradisi koruptif diwariskan turun temurun. Jadi, anda jangan hanya melihat case by case. Anda jangan terpukau dengan penangkapan Edhy Prabowo dan Julian Batubara oleh KPK. Di balik penangkapan kedua menteri itu, justru kadang lebih menarik kalau yang dibahas adalah tokoh di belakangnya, partainya, posisi jabatannya, atau sepak terjang KPK itu sendiri. Hukum seringkali gak independen.

    Jadi, fenomena penangkapan tersangka tindak pidana korupsi jangan dilihat dari kasusnya, tapi lihatlah penyebabnya mengapa banyak diantara mereka yang korupsi. Lihatlah penegakan hukumnya, kenapa hanya mereka yang ditangkap, tidak yang lain. 

    Kalau ada menteri, kepala daerah, ketua atau Sekjen partai ditangkap oleh KPK, gak usah kaget. Sebab, biaya operasional partai besar. Dari mana mereka dapat biaya itu? Iuran anggota, gak bakal cukup. Sesekali ada pilkada, itu baru panen buat parpol. Saat ini ada 270 pilkada. Berarti parpol sedang panen raya. Biasanya calon kepala daerah harus membayar per kursi partai di DPRD. Inilah yang disebut mahar. Ada pula yang menyebutnya sebagai dana operasional kampanye. Beda-beda tipis. Tetap saja gak cukup. Lalu?

    Partai anda punya kader yang jadi menteri berapa orang? Yang jadi direktur dan komisaris BUMN berapa orang? Yang jadi kepala daerah berapa orang? Dari situ parpol-parpol itu mencari logistik. Sebagian untuk memakmurkan pengurusnya. 

    Jadi, kalau dalam dua pekan ini ada kader dari dua partai di-OTT KPK, yang harus kita lihat pertama, jabatan menteri itu bukan cek kosong. Kedua, kebutuhan operasional partai sangat besar. Kalau menteri itu dari partai, mosok gak ada setoran? Ketiga, posisi menteri banyak peminatnya. Posisi ini menjadi arena perebutan antar partai dan antar pihak. Keempat, di setiap kementerian ada mafianya. Pemain lama sangat berpengalaman. Kelima, mata hukum seringkali "juling". Yang parah di sebelah kiri, yang dihajar di sebelah kanan. 

    Jika kita bongkar, negara ini sesungguhnya sudah sedemikian rusak. Ibarat penyakit kanker, sudah stadium empat. Korupsi terjadi di semua tempat, "boleh jadi" di semua kementerian, di semua lembaga dan institusi negara, di semua BUMN, dan sangat parah. Ini terjadi salah satunya karena sistem yang salah telah melahirkan tradisi dan mental koruptif. Jargon #Revolusi mental#  bukannya memperbaiki, tapi faktanya, malah masif terjadi korupsi.

    Ini terjadi bukan hanya di era Jokowi, tapi turun temurun. Sudah lama, terutama sejak era reformasi. Di era Jokowi ini, seolah jadi puncak gunung es. Makin parah. Lalu, darimana memperbaikinya? Perbaiki penegakan hukum dan sistem politik yang high cost itu. Dan ini harus dilakukan dari atas, yaitu oleh pemimpin. Kalau yang di atas memble, yang lain, terutama yang di bawah pasti ikut memble. Banyak pihak yang meragukan kemampuan Jokowi. 

    Jakarta, 7 Desember 2020

    Tony Rosyid

    Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

    TONY ROSYID JOKOWI
    Updates

    Updates

    Artikel Sebelumnya

    Sekda Bagikan Bingkisan Idul Fitri untuk...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Cegah Paham Radikalisme, Polri Tekankan Pentingnya Upaya Kontra Radikal 
    Polsek Indihiang Ungkap Kasus Pencurian di Belasan Sekolah, Empat Pelaku Diamankan
    Polsek Pondok Gede Hadir di Peringatan Maulid Nabi, Jaga Kondusivitas Jelang Pilkada 2024 di Pondok Gede
    Bapas Pangkalpinang Goes to Village Kunjungi Desa Kebintik
    Danrem 082/CPYJ Gelar Acara Tradisi Lepas Sambut Rangkaian Sertijab

    Ikuti Kami