MAJALENGKA - Talaga merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Majalengka yang letaknya tepat berada di kaki Gunung Ciremai. DI daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan besar yang bercorakkan Budhisme dengan nama Kerajaan Talaga.
Penamaan Kerajaan Talaga didasarkan pada letak kerajaan yang berdekatan dengan sebuah talaga atau oleh masyarakat setempat disebut situ sangiang. Di sekitar tempat inilah Kerajaan Talaga pernah berdiri Terbentuknya Kerajaan Talaga diawali dengan berdirinya sebuah padepokan agama Budha (± 1371 M) yang bernama padepokan Sarwastiwada (ajaran Budha Mahayana yang menitik beratkan pada ajaran puji-pujian pada Sidarta Gautama) padepokan ini berada di daerah Gunung Bitung, sebuah daerah yang berada di Desa Wangkelang Kecamatan Cingambul Kab. Majalengka.
Padepokan Sarwastiwada dibina oleh Sang Sudayasha, ia adalah salah seorang putra dari Sang Suryadewata yang merupakan keturunan dari Prabu Ajiguna Linggawisesa dan Ratu Uma Lestari dari Kerajaan Galuh.
Dalam perkembangannya padepokan yang dibina oleh Sang Sudayasa ini mengalami kemajuan pesat terlebih lagi ketika Padepokan ini dipimpin oleh putranya bernama Sang Darmasuci.
Dengan bertambah pesatnya perkembangan agama Budha di daerah Gunung Bitung menjadikan Sang Darmasuci sebagai seorang raja merangkap sebagai pendeta Budha Sarwastiwada.
Sang Darmasuci akhirnya pindah dan mendirikan sebua’a kerajaan kecil bercorak Bhudisme yang ciiher; nap-, a Kerajaan Talaga karena letaknva ditepi sebuah Talaga atau situ (Situ Sangiang Kecamatan Banjaran).
Kerajaan Talaga ini masih berada diwilayah kekuasaan Kerajaan Galuh yang pada saat itu dipimpin oleh rajanya Sang Maha Prabu Niskala Wastu Kancana yang masih saudara sano Darmasuci Atas kerjasama dan dukungan Maha Prabu Niskala Wastu Kancana terhadap kerajaan Talaga, maka sebagrai kerajaan van-, bercorak Budhisme, kerajaan ini menjadi pusat penyebaran agama Budha ditatar tanah sunda (Jawa Barat) bahkan dari luar wilayah tatar tanah sundapun banyak orang yang, datang berkunjung ke kerajaan Budha Talaga.
Raja – Raja Penguasa Kerajaan Talaga
Era Prabu Darmasuci
Prabu Darmasuci merupakan raja pertama sekaligus pendiri kerajaan yang dilatar belakangi dengan perkembangan dan kemajuan Padepokan Sarwastiwada yang diwarisi dari ayahandanya Sang Sudayasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Batara Gunung Bitung.
Pemerintahan Prabu Darmasuci segenerasi dengan Maha Prabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Galuh yang sama-sama merupakan cicit dari Prabu Ajiguna Lingga Wisesa.
Selama pemerintahannya Prabu Darmasuci berhasil menjadikan Kerajaan Talaga sebagai pusat pengembangan agama Budha ditataran tanah sunda dan bahkan hingga luar pulau Jawa.
Prabu Darmasuci berputrakan dua orang yang bernama: 1). Begawan Garasiang 2). Prabu Darmasuci II ( Sunan Talagamanggung ) Begawan Garasiang dikenal sebagal resi guru yang termashur dengan segala perjalanan hidupnya yang tersirat dalam sebuah sempalan cerita bahwa ; Sang Begawan Garasiang berkedudukan di suatu tempat yang tenang dan tidak kembali ke tempat asalnya di Gunung Bitung, patilasannya dapat ditemukan disalah satu bukit di Desa Sangiang yang dikenal dengan nama Bukit Garasiang.
Begawan Garasiang mempunyai seorang putri yang bernama Nyi Mayangkaruna. Prabu Darrnasuci II yang merupakan anak dari Prabu Darmasuci I adalah yang melanjutkan tampuk kepemimpinan Kerajaan Talaga menggantikan ayahandanya Prabu Darmasuci I
Era Sunan Talaga Manggung (± 1388-1420 M)
Pada masa pemerintahan Prabu Darmasuci II kerajaan Budha T’alaga ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam mengembangkan pengaruh pemerintahan dan agama ditatar sunda. Sebutan Talaga Manggung merupakan sebuah pemberian nama kepada Prabu Darmasuci II dengan harapan setelah dinobatkan menjadi raja di Talaga kelak menjadi seorang pemimpin yang manggung yaitu seorang raja yang adil dan bijaksana dalam menjalankan pemerintahannya.
Harapan ini menjadi kenyataan terbukti setelah Prabu Darmasuci II dipercaya menjadi raja ke Il di Talaga kerajaan Talaga mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Prabu Darmasuci 11 atau Sunan Talagamanggung mempunyai dua orang anak, seorang putra bernama Raden Panglurah dan seorang putri bernama Simbarkancana. Raden Panglurah sebenarnya diharapkan kelak menjadi penerus tahta Kerajaan Talaga, akan tetapi dia tidak tertarik dengan urusan pemerintahan dan lebih senang mengikuti jejak cicitnya Sang Sudayasa atau Batara Gunung Bitung untuk menjadi biksu / Pendeta agama Budha.
Sedangkan putrinya Simbarkancana dikenal sebagai puteri yang sangat cantik sehingga banyak raja¬raja yang ingin melamar kepadanya. Karena begitu banyaknya orang yang ingin melamarnya sehingga Sunan Talagamanggung mengadakan sayembara dengan berbagai jenis pertandingan selama tiga han berturut-turut yang diantaranya dipertandingkan keterampilan perang tanding sambil menunggang kuda dengan senjata lengkap, perang tanding sejenis namun tidak berada diatas kuda, keterampilan menangkap binatang buas di hutan, dan kemahiran menggunakan panah.
Dari sekian banyak peserta yang mengikuti sayembara akhirnya keluar sebagai pemenang seorang kesatria yang bernama Sang Sakyawirya dari tanah Palembang Sumatera, maka iapun lebih dikenal dengan nama Palembanggunung. Setelah Palembanggunung dinikahkan dengan Simbar Kancana iapun diangkat sebagai patih utama dan bahkan sebagai wakil sang Prabu yang sebenarnya hanya layak diberikan kepada Raden Panglurah.
Dalam perjalanannya Palembanggunung mulai memperlihatkan tabiat yang tidak balk dan bahkan mempunyai niat untuk merebut tampuk pimpinan kerajaan. Untuk mewujudkan keinginannya Palembanggunung dengan segala cara dan muslihat berhasil membujuk seorang patih bernama Citrasinga untuk merencanakan merebut tahta kerajaan dari sang raja dengan cara mcrayu seorang juru simpen kerajaan dari Kerajaan Galuh bernama Centangbarang, Centangbarang in] adalah orang yang tahu kelemahan raja yang, dia berhasil menikam raja dari belakang dengan “CIS” yaitu senjata rahasia milik sang raja yang berhasil ia curi, akhirnya Sunan Talagamanggung wafat ditangan si Centangbarang.
Tampuk pemerintahan akhirnya di teruskan oleh Putri Simbarkancana yang merupakan putera mahkota kerajaan, hal ini dikarenakan Raden Panglurah tidak bersedia untuk meneruskan tahta kerajaan dan lebih memilih untuk menjadi Bhiksu di kawasan Gunung Bitung.
Era Ratu Simbarkancana (± 1420 – 1450 M)
Sepenirrggal ayahandanya Simbarkancana dinobatkan sebagai penerus tahta kerajaan. Pada pemerintahan Simharkancana mengalami pemindahan pusat pemerintahan dari Sangiang ke Walangsuji yaitu Desa Kagok Kecamatan Banjaran sekarang yang menjadi tempat baru bagi Simbar Kancana dalam menata dan menjalankan roda pemerintahannya. Terkait dengan wafatnya Sunan Talagamanggung, akhirnya setelah berhasil menikam Sunan Talagamanggung Centangbarang kabur dan bersembunyi dihutan untuk menghindari kejaran prajurit kerajaan yang diperintahkan oleh Palembang Gunung yang tidak lain merupakan otak dibalik semua konspirasi perebutan kekuasaan mi. Wafatnya Sunan Talagamanggung membuat terkejut para raja di tanah Jawa dan Sumatera yang akhirnya mengutus utusannya untuk menyatakan belasungkawa.
Suasana duka juga menyelimuti keraton Surawisesa di kawali yang merupakan ibu kota kerajaan Galuh. Sang Prabu Dewa Niskala mengutus Puteranya Sang Kusumalaya untuk mengusut Centang barang dan orang dibalik konspirasinya.
Sang Kusumalaya akhirnya dapat menemukan Centangbarang dari persembunyiannya dan mendapat pengakuan akan semua yang terjadi dan dalang dibalik peristiwa int. Sang Kusumalaya akhirnya menemui Simbarkancana secara diam-diam di keputren dan mengungkapkan semua akal licik yang tidak lain adalah suarni dari Simharkancana, Simbarkancana sempat marah kepada Kusumalaya dengan tersinggung dengan disebutkannya dalam konspirasi yang menjadikan wafatnva Sunan Talagamanggung, akan tetapi sang Kusurnalava herhasil meyakinkan Simbarkancana dengan mempcrtenIukan Simbarkancana dengan Centan, baranu dit cmpat persembunyianya ditengah hutan. Pada suatu liar) setelah Simbarkancana mengetahui bahwa otak dibalik wafatnva Sunan Talagamanggung adalah Palembanggunun, suaminva maka pada suatu ketika saat Palembanggunung tertidur pulas dipangkuannya Simbarkancana menusukan Konde (Patrem) tiga kali tepat ditenggorokan sehingga Palembanggunung tewas seketika di pangkuan Simbarkancana.
Sepeninggal Palembanggunung roda pemerintahan berjalan secara aman dan tidak pernah terjadi lagi kekacauan dan perampokan yang ternyata semua itu didalangi oleh Palembanggunung. Tidak lama setelah meninggalnya Palembanggunung Kerajaan Galuh mengirim utusan untuk melamar Simbarkancana yang akhirnya menikah dengan Kusumalaya di keraton kerajaan Talaga Manggung dengan disaksikan para punggawa dan raja-raja sahabat pulau Jawa dan Sumatera.
Dari pernikahannya itu Ratu Simbar Kancana dikaruniai tujuh orang anak, yaitu : 1. Sunan Bungbulang 2. Sunan Tegal Cau 3. Sunan Jero Kaso 4. Sunan Kuntul Putih 5. Sunan Cengal 6. Sunan Cihaur 7. Sunan Parung (Sunan Corenda) Dari kesekian puteranya kelak Sunan Parung yang akan melanjutkan tahta Kerajaan Talaga. Ratu Simbar Kancana hidup sejaman dengan Sribaduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi yang merupakan kakak se ayah dart Sang Kusumalaya yang merupakan suami kedua dari Ratu Simbar Kancana
Era Sunan Parung (± 1450 – 1500 M)
Pemerintahan kerajaan di era kekuasaan Sunan Parung mengalami dinamika tersendiri karena pada waktu itu pengaruh agama Islam mulai mempengaruhi tatanan kehidupan dan pemerintahan di wilayaah kerajaan Talaga. Dengan masuknya pengaruh Islam mempengaruhi regenerasi kekuasaan yang tadinya tahta diturunkan secara turun temurun. Dengan ini semua kebiasaan itu berubah dan dalam menjalankan pemerintahanya harus berkiblat ke Cirebon sebagai pusat pemerintahan Islam. Sunan Parung mempunyai seorang anak dari permaisurinya, oleh masyarakat di wilayah Talaga dikenal dengan sebutan Sunyalarang atau Ratu Parung, beliau dinikahi oleh Ranggamantri alias Parunggangsa yaitu keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Era Ratu Parung Sunyalarang (± 1500 – 1550 M)
Setelah Sunan Parung meninggal dunia, tahta kerajaan dilanjutkan oleh puterinya Ratu Parung Sunyalarang yang dibantu oleh suaminya Raden Ranggamantri atau Parunggangsa. Pada masa pemerintahannya di Kerajaan Talaga terjadi proses islamisasi yang dilakukan oleh penguasa kerajaan setelah secara resmi menyatakan masuk Islam kepada Sunan Gunung Jati Cirebon. Dengan peristiwa ini maka Sunan Gunung Jati mertihcrikan gelar Pucuk Umun kepada Raden Ranggamantri yang begitu g~igih menyebarkan agama Islam di Talaga.
Baca juga:
Dua Check Point Sambut Wisatawan di Nongsa
|
Buah Perkawinan Ratu Sunyalarang denoan Raden Ranggamantri mendapatkan keturunan yang diantaranya: 1. Haur Kuning (menurunkan para bupati ciamis) 2. Sunan Wanaperih 3. Dalem Lumaju (maja) 4. Dalem Umbuluar Santoan Singandaru 5. Dalem Panungtun ( Girl lawungan 6. Dalem Panaekan 6. Era Sunan Wanaperih (± 1550 – 1590 M) Setelah Rd. Ran-g, _g, a Mantri atau Sunan Parunggangsa meninggal, beliau dimakamkan di dekat situ Sangiang dan tahta kerajaan dipegang oleh Putera keduanya Arya kikis (Sunan Wana Perih).
Masa pemerintahan Sunan Wana Penh seangkatan dengan kepemimpinan Prabu Sunda Padjajaran, Ratu Carita. Pada masa Wana Perih menjadi penguasa Talaga seluruh rakyat Talaga Sudah menganut Islam dengan berkiblat pada madzab imam Syafi’i.
Sementara itu hubungan dengan Cirebon terus diperkuat dengan pernikahan salah seorang dari putera Sunan Wana Perih dengan Sayyid Ibrahim. Adapun keturunan sunan Wanaperih kemudian menyebar ke berbagal daerah di Jawa barat dan bahkan menjadi cikal bakal beberapa kabupaten di Jawa barat, diantaranya di Subang, Sumedang dan Cianjur. Sunan Wana Perih mempunyai anak diantaranya : 1) Dalem Kulanata 2) Dalem Cageur ( Darma ) Makam Ratu Parung Sunvalareng, Cikiray Talagawetan Kecamatan Talaga 3) Raden Apun Surawijaya ( Sunan Kidul ) 4. Ratu Radeya 4) Ratu Puteri 5) Dalem Aria Wangsagoparana, Sagalaheran¬g Dalam sejarah Jawa Barat telah disebutkan bahwa Aria Wangsa Goparana berasal dari Talaga yang berpindah ke Sagalaherang Subang dan salah satu puteranya yang bernama Raden Aria Wiratanudatar berpindah ke daerah Cikundul di Cianjur yang akhirnya menurunkan bupati bupati dan pendiri kota Cianjur sekarang.
Era Pemerintahan Pangeran Apun Surawijaya. (1590 - 1635 M )
Sepeninggal Raden Aria Kikis atau Sunan Wanaperih tampuk pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Pangeran Apun Surawijaya walaupun sebenarnya masih ada putera tertua Sunan Wana perih yaitu Dalem Kulanata, keterangan diatas menimbulkan penafsiran bahwa di kerajaan Talaga setelah Islamisasi terjadi pertentangan politik diantara keluarga kerajaan. Pan-eran Apun Surawijaya adalah pendiri Kota Talaga dikenal juga dengan sebutan Sunan Kidul, karena beliau memindahkan pusat pemerintahanya ke sebelah selatan dari keraton Walangsuji tepatnya di Tanah Kagok yang sekaran, ada di sebelah Selatan Kota Kecamatan Talaga. Pangeran Apun Surawijaya mempunyai empat orang putra, _yaitu :
1) Dalem Salawangi ( Salawangi ) 2) Sunan Cibalagung ( Cianjur ) 3) Pangeran Surawijaya ( Sunan Ciburuy ) 4) Dalem Tuhu ( Sunan Ciparanje )
Era Pangeran Surawijaya (± 1635 – 1675 M)
Pangeran Surawijaya yang lebih dikenal dengan Sunan Ciburuy menggantikan sang ayah Pangeran Apun Surawijaya melanjutkan tampuk pemerintahan dan terus membangun Talaga oleh para keturunannya dari generasi kegenerasi sampai akhirnya ± 1819 M pada masa Bupati Aria Sacanata, Pemerintahan Flindia Belanda mengharuskan Ibu kota Talaga pindah ke Sindangkasih.
1.3 Upaya Pelestarian Sejarah Kerajaan Talaga Manggung 1.
Museum Talaga Manggung
Museum Talaga Manggung, terlctak di tengah Ibu Kota Kecamatan Talaga Sebagai salah satu upaya dalam melestarikan peninggalan sejarah Kerajaan Talaga Manggung dimuseum in] tersimpan barang – barang pusaka yang menjadi bukti akan keberadaan Kerajaan Talagamanggung. Awal mula dibangunnya sebuah museum yang terletak dl tengah Ibu Kota Kecamatan Talaga dengan di awali pembuatan sebuah bangunan yang disebut “Bumi Alit” diperkirakan dibangun pada jaman Pangeran Sumanagara sekitar tahun 1820 setelah pemerintahan Kabupaten Talaga dipindahkan ke Sindangkasih oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1819.
Pada saat itu pemerintahan Talaga dipimpin oleh Pangeran Aria Sacanata. Berikut adalah orang-orang yang mendapat tugas mengurus benda-benda Pusaka Karuhun Talaga, yang selanjutnya mereka disebut para sesepuh Talaga: 1. Pangeran Sumanagara (1820-1840 2. Nyi Raden Anggrek (1840-1865), 3. Raden Natakusumah (1865-1895), 4. Raden Natadiputra (1895-1925), 5. Nyi Raden Masri’ah (1925-1948), 6. Raden Acap Kartadilaga (1948-1970), 7. Nyi Raden Madinah (1970-1993), 8. Raden Oo Mohammad Syamsuddin (1993-2001), 9. Raden Abung Syihabuddin (2001-2013), 10. Nyi Raden Padnalarang ( 2014 s/d sekarang )
Dalam upaya melestarikan dan menitik beratkan pada keamanan barang peninggalan sejarah Kerajaan Talagamanggung dari hal-hal yang tidak diinginkan, pihak Keprabonan Talaga memohon perhatian Pemerintah Daerah Majalengka demi upaya tersebut diatas. Sebagai tindak lanjut dari upaya tersebut Keprabonan Talaga pada tahun 1991 membentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Talagamanggung, yang didalamnya terdiri dari para keturunan raja Talaga dan berbagai pihak yang memiliki kesamaan visi untuk melestarikan peninggalan sejarah Kerajaan Talagamanggung.
Pada tahun 1993 atas permohonan Yayasan Talagamanggung, Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka merealisasikan pernugaran Bumi Alit menjadi sebuah Museum yang diberi nama Museum Talagamanggung. Yang selanjutnya dimuseum ini tersimpan barang peninggalan Kerajaan Talagamanggung.
Prosesi Upacara Adat Nyiramkeun
Nyiramkeun Nyiramkeun adalah sebuah tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang selalu dilaksanakan pada Hari Senin Tanggal Belasan Akhir Bulan Syafar. Adapun kata Nyiramkeun berasal dari bahasa sunda dengan kata asal “Siram” yang berarti memandikan. Adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh Keprabonan Talaga secara turun temurun dengan tujuan untuk melestarikan barang peninggalan Kerajaan Talagamanggung.
Disamping itu tujuan diselenggarakannya upacara Nyiramkeun sebagai ajang silaturrahmi antar sesama keturunan Kerajaan Talagamanggung, dan sebagai bentuk penghormatan terhadap orang tua terdahulu yang mewariskan peninggalan – peninggalannya.
Dalam melaksanakan upacara Nyiramkeun ada bagian – bagian prosesi acara yang tidak boleh ditambah atau dikurangi, yang diantaranya adalah : Pengambilan air dari 7 mata air yang sudah ditentukan, diantaranya : Mata air Gunung Bitung, mata air Situ Sangiang, mata air dari Cikiray, mata air dari Wana Perih, mata air dari Lemahabang, mata air dari regasari dan mata air dari Cicamas.
Sesaji, yang biasa disiapkan setiap akan melaksanakan 3 prosesi upacara Nyiramkeun, satu untuk sesaji pada prosesi nyiramkeun Arca Raden Panglurah, satu untuk prosesi Nyirarnkeun Arca Ratu Simbarkancana dan satu lagi untuk prosesi Nyiramken baran - barang pusaka.
Bunga Setaman dan Wewangian juga merupakan salah satu syarat yang harus disiapkan dalam Prosesi pencucian barang pusaka yang mempunyai fungsi untuk memudahkan dalam pencucian barang pusaka dan sehingga wanginya pun bisa bertahan lama. Adapun hal-hal baru yang berkaitan dengan upacara Nyiramkeun juga dilaksanakan, Kirab Barang Pusaka mcngclilingi kota Talaga sebagai wujud rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan sejarah Kerajaan Talagamanggung. selain Kirab Barang Pusaka juga dimeriahkan pula oleh pementasan seni budaya yang merupakan aset kesenian daerah yang terdapat di wilayah Talaga.
Dilansir dari https://sunantalagamanggung.wordpress.com/AW.