POLITIK - Di panggung demokrasi Indonesia, pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diwarnai calon tunggal bak sebuah ironi yang mencolok. Di satu sisi, demokrasi yang semestinya menawarkan pilihan, justru kini memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Fenomena calon tunggal tidak hanya menjadi penanda berkurangnya alternatif politik, tetapi juga menguak berbagai lapisan persoalan di dalam tubuh partai politik serta kehidupan demokrasi kita.
Sebagian besar pengamat politik bertanya: Apakah ini bukti kegagalan partai dalam melakukan kaderisasi atau, lebih jauh lagi, sebuah ancaman nyata terhadap demokrasi kita?
Kaderisasi yang Mandek: Mesin Partai yang Kurang Gairah
Partai politik sejatinya adalah tempat penggodokan kader-kader terbaik bangsa, ruang di mana ide-ide besar diperjuangkan dan calon pemimpin dihasilkan. Namun, kenyataan yang ada justru menunjukkan proses kaderisasi yang mandek, bahkan stagnan. Tidak jarang partai lebih sibuk mengurusi kepentingan jangka pendek ketimbang menyiapkan kader untuk masa depan.
Akibatnya, regenerasi kepemimpinan seringkali tumpul. Alih-alih memunculkan wajah-wajah baru dengan semangat membangun daerah, kita justru mendapati calon-calon tunggal yang minim kompetisi. Tentu saja, publik bertanya-tanya apakah partai telah abai mempersiapkan kaderisasi, ataukah ini cerminan sempitnya ruang politik yang sudah dikavling oleh elite-elite tertentu?
Kandidat Tunggal: Manipulasi Sistem atau Kekurangan Minat?
Tidak hanya kegagalan kaderisasi, fenomena calon tunggal juga mencerminkan betapa ruang kontestasi politik semakin disesaki kepentingan elit. Para aktor politik memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang bisa maju, sering kali menutup pintu bagi calon lain yang dianggap “tidak sepaham.” Bukannya membuka jalan bagi persaingan sehat, partai justru menciptakan iklim politik yang tidak bersahabat bagi calon alternatif.
Celakanya, tanpa adanya pilihan lain, masyarakat seolah dipaksa menerima calon tunggal tersebut tanpa ruang untuk mempertimbangkan opsi yang lebih baik. Ini menciptakan apa yang disebut oleh banyak pakar sebagai "demokrasi yang dirusak, " di mana rakyat sebenarnya tidak benar-benar berdaulat dalam memilih pemimpinnya.
Apa yang Terjadi Pada Demokrasi?
Di negeri demokrasi, keterlibatan masyarakat bukan hanya hak, tetapi juga kekuatan yang mendorong perubahan. Namun, ketika calon tunggal menjadi satu-satunya pilihan, esensi demokrasi itu sendiri perlahan terkikis. Pemilihan yang seharusnya menjadi ajang pembuktian gagasan dan program, berubah menjadi sekadar proses formalitas.
Yang paling menyedihkan, demokrasi kehilangan daya kritisnya. Tanpa persaingan, tak ada perdebatan visi, tak ada adu gagasan. Masyarakat akhirnya hanya menjadi penonton pasif di panggung demokrasi yang seharusnya aktif dan dinamis.
Menutup Pintu atau Memperbaiki Sistem?
Situasi calon tunggal adalah sinyal bagi seluruh elemen bangsa. Partai politik harus menyadari pentingnya regenerasi dan pembukaan ruang bagi calon yang punya kemampuan dan integritas. Sementara itu, perlu ada evaluasi sistem untuk memastikan bahwa kompetisi politik tetap hidup dan demokrasi tidak kehilangan esensinya. Jika ini tidak diperbaiki, jangan heran jika suatu saat nanti pemilu kita tak ubahnya sekadar formalitas belaka.
Demokrasi sejatinya tidak hanya tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi tentang menjaga semangat kebersamaan dalam menentukan nasib bangsa. Maka, kita semua perlu bergandeng tangan agar fenomena calon tunggal ini bukan menjadi akhir dari sebuah harapan demokrasi yang inklusif dan penuh pilihan.
Baca juga:
AKAS Pasang Tema Baru "3 Kali Lebih Mantap"
|
Jakarta, 11 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi