OPINI - Mundur pemilu, itu cara efektif untuk jegal Anies. Dengan pemilu diundur 2-3 tahun, Anies akan kehilangan momentum. Cara ini gagal. PDIP sebagai partai pemenang pemilu menolak. Bukan untuk Anies, tapi demi menyelamatkan Puan Maharani dalam suksesi kepimpinan PDIP. Ini kebutuhan subyektifnya ketum partai Megawati. Alasan normatif dan idealnya, demi menjaga konstitusi. Dalam sejumlah kasus, Megawati terdepan dalam mendukung tegaknya konstitusi. Ini perlu juga diapresiasi.
PKS paling awal menolak penundaan pemilu, lalu diikuti oleh partai Demokrat. Sementara partai koalisi pemerintah, dan umumnya anggota DPR mendukung tunda pemilu. Dengan tunda pemilu, para anggota DPR bisa menikmati perpanjangan jabatan. Kenapa ini tidak berlaku bagi kepala daerah ya? Kenapa 271 kepala daerah harus berhenti karena masa jabatannya habis dan diganti PJ? Silahkan anda renungkan sendiri.
Gagal tunda pemilu, KPK bergerak. Kabar beredar Anies nyaris "dijadikan tersangka" dalam kasus Formula E. Gara-gara silang pendapat di kasus Formula E, pimpinan KPK dan para penyidiknya berantem. Internal KPK koyak. Terjadi pemecatan dan saling lapor di kepolisian. KPK Gaduh!
Formula E masih ON. Sewaktu-waktu bisa dipencet tombolnya jika resistensimya bisa dikontrol. Hukum makin sulit dipisahkan dari politik. Majalah Tempo dari awal telah mengurai perseteruan internal KPK terkait Formula E yang ingin dipaksakan.
Harapan untuk menjadikan Anies tersangka makin kecil setelah tiga partai (Nasdem, PKS dan Demokrat) membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dan mendeklarasikan Anies Baswedan jadi calon presiden.
Penjegalan lewat Formula E semakin sempit ruangnya. Maka, tiga partai pengusung harus diganggu. Nasdem, beberapa kali mendapatkan tekanan. Tapi, Nasdem seperti karang di tengah benturan badai. Tetap kokoh dan kekeuh usung Anies. Johnny G Plate pun jadi ditumbalkan. Jadi tersangka, dan langsung diborgol. Sayangnya, Johnny G Plate puasa bicara. Mestinya ia bicara dan jadi Justice Collaborator (JC). Ceritakan kemana aliran dana lebih dari 8 T itu. Jangan diam Plate! Berteriaklah, agar hukum ini tegak di atas semuanya. Jangan anda sendirian jadi korban. Ketum partai anda, Surya Paloh, minta anda bongkar kasus BTS dengan setuntas-tuntasnya. No kompromi. Rakyat menunggu niat baik dan keberanian Johnny G Plate. Mana nyalimu Plate?
Baca juga:
Basis Fikar Azami - Yos Adrino Jebol
|
Meski kader Nasdem sudah diborgol, Nasdem tetap berdiri tegak untuk mengusung Anies Baswedan. Apapun rintangan yang dilalui, Nasdem tetap memperjuangkan Anies for Presiden. Ini harga mati. Meski jutaan orang di luar sana masih meragukan, Surya Paloh dengan segala tekat telah membuktikannya.
Tidak hanya Nasdem, PKS pun telah bamyak mendapatkan rayuan, bujukan dan iming-iming. Bahkan sejak dari awal. Sangat menggiurkan. Sekian menteri dan sekian uang. PKS tergiur? Tidak! PKS tetap dalam pendirian bersama Anies di pilpres 2024. PKS nampak konsisten dengan jargonnya sebagai partai dakwah yang harus mengedepankan integritas di mata konstituen. Apalagi, mayoritas konstituen PKS mendukung Anies Baswedan. Hampir tidak mungkin PKS berpaling dari Anies.
Nasdem dan PKS tidak bisa diganggu. Giliran Demokrat. Partai ini mau "dicopet" melalui PK Pengadilan. Istilah "dicopet" menjadi populer sejak diungkapkan oleh Romahurmuzy (Romy). Romy dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan istana, dan partainya bergabung dengan PDIP untuk mengusung Ganjar. Istilah ini seolah membenarkan proses pencopetan karena keluar dari mulut orang yang dekat istana.
Tapi, mengambil Demokrat dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan memenangkan PK Moeldoko, bukan hal gampang. SBY seorang jenderal militer dan mantan presiden dua periode. Bukan orang sembarangan ketika ia harus melawan. Ini soal harga diri SBY, dan ini menyangkut karir masa depan kedua putranya. SBY pasti melawan. Mati-hidup dan dengan semua resources yang ia miliki. Akan ada perlawanan habis-habisan, dengan semua cara dan at all cost. Ini soal harga diri dan hidup-mati.
Ngeri-ngeri sedap jika PK dipaksakan dengan memenangkan Moeldoko. Besar kemungkinan akan meledak. Perlawanan SBY akan menjadi titik kumpul kemarahan semua kelompok di luar istana. Ini sangat berpotensi mengancam stabilitas nasional. Apalagi, surat Deny Indrayana ke DPR yang mulai viral di medsos mendesak agar memanggil Presiden yang diduga melakukan sejumlah pelanggaran.
Dari awal saya tidak yakin PK Moeldoko akan dimenangkan. Ini bukan soal pihak mana yang benar. Tapi ini soal siapa yang paling kuat jika terjadi benturan. Selama ini seringkali "siapa yang lebih kuat" menjadi dasar dalam sejumlah keputusan.
Kemungkinan pengambilalihan Demokrat oleh Moeldoko akan gagal. Maka, strategi berikutnya adalah "lamar AHY" jadi cawapres Ganjar. Ini tidak saja menarik, tapi menggiurkan.
Jika AHY mau, maka KPP sebagai koalisi yang mengusung Anies harus mencari pengganti Demokrat. Ini akan cukup menyulitkan. Meski, di ujung waktu jelang pendaftaran, tetap terbuka kemungkinan akan ada partai anggota koalisi penguasa exit dan bergabung ke Anies Baswedan. Tidak ada yang tidak mungkin. Saat itu, istana semakin lemah pengaruhnya. Semua partai akan sibuk berpikir 5-10 tahun kedepan.
Jika Demokrat keluar dari KPP, ada dua risiko. Pertama, ini akan jadi ancaman elektabilitas partai Demokrat. Kehadiran Anies selama ini telah membawa efek elektoral terhadap AHY maupun Demokrat. Kedua, tidak ada jaminan AHY akan benar-benar didaftarkan menjadi cawapres Ganjar. In jury time, AHY bisa ditinggalkan.
Ingat peristiwa pilpres 2004 dimana pencapresan SBY pasca dipanggilnya SBY ke istana presiden telah menyisakan luka mendalam bagi Megawati. Teringat pula pilpres 2019 yang juga menyisakan luka bagi SBY dan AHY, karena komitmen pihak sebelah tidak dilaksanakan. Bagitulah politik. Soal komitmen itu nomor 12. Nomor wahid adalah kepentingan.
Apakah jika gagal ajak AHY jadi cawapres Ganjar, penjegalan terhadap Anies Baswedan akan berhenti? Tidak! Akan ada seribu lagi cara yang ditemukan untuk jegal Anies nyapres. Kita tunggu episode penjegalan berikutnya.
Jakarta, 8 Juni 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa