JAKARTA - Dari hari kemarin aku gelisah. Selalu teringat wajah seorang sahabat yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Rumah sakit EMC Sentul City menjadi tempat beliau berbaring, diisolasi karena Covid-19.
Kabar datang bahwa nafasnya sudah tak normal. Harus pakai alat bantu. Meski berisiko merusak organ lain. Tak ada jalan lain. Keluarga minta itu harus dilakukan.
Feeling! Sahabatku akan tutup usia. Seringkali aku merasakan hal ini. Dan, tepat. Sahabat karibku Allah panggil. Tepat jam 23.30. Hari Kamis, tanggal 7 Januari 2021. Malam jumat.
Namanya Dr. Muhammad Yasid, MSi. Salah satu pendiri Institut Tazkiya Sentul. Pernah diamanahi menjadi direktur Pasca Sarjana. Terakhir pegang salah satu lembah di Tazkiya.
Sempat kemarin (kamis) aku tanya di group. Adakah nomor hp pihak keluarga yang bisa dihubungi? Belum sempat ada yang memberi tahu nomor itu. Cari kesana kemari, tak ada yang tahu. Aku merasa, ini hari terakhirnya.
Tanggal 24 Desember lalu jadi pertemuan terakhir kami. Waktu itu, aku ajak keluarga makan di Sentul. Sekitar 100 M dari kampus Institut Tazkiya. Aku telp beliau. Kebetulan beliau sedang berada di rumah sakit yang gak jauh dari tempat kami makan.
"Aku di rumah sakit. Lagi jenguk istri diisolasi", katanya. "Covid kah?" tanyaku. "iya" jawabnya. "Kalau Pak Yasid sendiri?" tanyaku was was. "Aku barusan tes dan negatif", tegasnya. "Sebentar aku gabung kesana ya?" lanjutnya.
Dan kami pun bertemu. Makan siang bersama. Update perkembangan politik dan lain sebagainya. Termasuk berbincang tentang MPI (Majlis Pelayan Indonesia) kedepan. Sejak tahun 2016 kami aktif di MPI, yang sebelumnya bernama MPJ (Majlis Pelayan Jakarta).
Sempat ia nanya nama putra-putriku. Satu persatu aku absen. Kebetulan semuanya ikut. Terutama putri sulungku. Tentang pendidikan dan usianya. Lalu beliau seloroh: "jodohkan saja dengan putraku". Aku senyum. "putraku usianya 26 tahun", katanya.
Sekitar beberapa hari dari pertemuan itu, beliau kasih kabar positif covid. Temen-temen di sejumlah group WA kasih support dan doa. Beberapa hari setelah divonis covid, beliau masih suka aktif di group. Diskusi dan kadang bercanda. Sempat hari itu aku telp, tapi gak diangkat. Beberapa menit kemudian, beliau telp balik. "Aku positif covid. Doain aja ya", katanya ringan. Tak lupa untuk selalu tertawa. Di akhir pembicaraan, sambil tertawa dia bilang: "salam sama calon menantu ya". Begitulah Pak Yasid, sosok yang riang. Seberat apapun masalah yang dihadapi, tak akan mengintimidasi mentalnya.
Kamis pagi, ketika kondisi kesehatannya ngedrop, ada doa bersama yang diadakan ratusan civitas akademika Institut Tazkiya. Juga teman-teman dari komunitas SalingSapa. Lagi-lagi, umur hanya Allah yang tahu. Tak hanya saya, begitu banyak teman yang betul-betul merasa kehilangan.
Kehilangan sosok aktifis yang tulus. Pejuang sejati, tanpa pernah ada mimpi untuk pribadi. Seluruh waktunya diwakafkan buat umat.
Dari tahun 2016 aktif di MPJ, Gema Jakarta, dan sekarang MPI. Pernah tidur dengan saya di markas perjuangan. Di bawah meja, karena memang itu adanya. Karena ada pekerjaan belum selesai hingga larut malam.
Beliau tidak pernah absen rapat kecuali ada acara yang betul-betul gak bisa ditinggalkan. Emosinya stabil, dan selalu berorientasi pada solusi. Humornya memecah stagnasi diskusi. Kedermawanannya gak diragukan. Hampir selalu nenteng makanan saat rapat. Jika makan bersama, beliaulah yang paling cepat mengeluarkan uang untuk membayar. Seorang tokoh yang sangat rendah hati.
Kenangan perjuangan yang tak pernah dilupakan oleh teman-teman. Semoga, kesaksian jujur kami semua menjadi jalan mudah untuk beliau ke surga.
Selamat jalan Pak Yasid, semoga engkau menjadi salah satu orang yang paling berbahagia di alam sana. Kami semua mendoakanmu, meski dengan air mata, karena perasaan yang belum siap atas kehilangan.
Jakarta, 8 Januari 2021
Tony Rosyid
(Sahabat Dr. Yasid)