Tony Rosyid: Merawat Demokrasi dengan Kritik, Bukan dengan Fitnah

    Tony Rosyid: Merawat Demokrasi dengan Kritik, Bukan dengan Fitnah
    Dr. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

    JAKARTA - Beda kritik dengan fitnah. Kritik berbasis data, fitnah bertolak belakang dengan data.

    Di negara demokrasi, kritik dibutuhkan. Penguasa kebijakan dan pengguna anggaran harus diawasi. Salah, harus diingatkan. Keliru, mesti ditegur. Selain legislatif, ormas, LSM, para akademisi dan aktifis, serta rakyat secara umum, harus ikut ambil peran. Tidak boleh membiarkan pemerintah salah.

    Soal cara mengkritik, itu beragam. Banyak pilihan sesuai dengan selera. Silahkan berlomba untuk mencari cara yang paling tepat dan efektif.

    Sampai disini, kritik menjadi sarana check and balances yang mutlak dibutuhkan.

    Di era medsos, fitnah lebih masif dari pada kritik. Mungkin orang yang paling banyak dapat fitnah salah satunya adalah Anies Baswedan. Gubernur DKI Jakarta ini memang termasuk kepala daerah yang punya daya tahan dan cukup matang pengalamannya dalam menghadapi banyak fitnah. Dibilang fitnah, karena setelah diklarifikasi, semua datanya hoaks.

    Mulai uang suap reklamasi, terlibat korupsi rumah DP 0%, dapat hadiah rumah mewah, sampai soal Formula E. Yang terakhir ini lagi ramai. Bahkan "mendadak" jadi kajian di Bas'ul Masail. Karena mendadak, muncul "duga-duga". Jangan-jangan... Jangan-jangan... 

    Anies, sebagai Gubernur yang dapat amanah rakyat, harus dikasih masukan.  Perlu juga dikritik. Dialog harus terus dikembangkan agar ada keseimbangan dan kontrol. Ini sehat dan mendidik buat rakyat 

    Tapi, jika fitnah yang muncul atas nama kritik, tentu ini tidak sehat. Jangan ajari rakyat untuk berdusta. Terutama mereka yang saat ini jadi public figur, atau politisi: mesti terukur bicaranya. Harus obyektif. Suara kalian direkam oleh rakyat, bahkan diabadikan oleh sejarah. Jangan sampai kelak anak cucu bilang bahwa mereka punya orang tua dan kakek yang suka berdusta dan gemar menfitnah. 

    Soal Formula E. Ada yang bilang pemborosan. Kenapa tidak juga bilang: PON, Asian Games, MotoGP Mandalika 2022, itu pemborosan? Kenapa hanya menyoal Formula E saja? Dari sini saja sudah tidak obyektif.

    Semua even besar seperti di atas, dibiayai oleh negara melalui APBN atau APBD. Untuk Formula E, sudah dibayarkan sejak 2019. Totalnya 560 M. Saat itu belum ada pandemi. Setelah pandemi, jadual Formula E disesuaikan. Ini tidak hanya berlaku untuk Jakarta, tapi berlaku juga untuk semua kota di dunia. 

    Setelah 2019, tidak ada lagi pengeluaran dari APBD di luar 560 M untuk even Formula E selama tiga tahun berturut-turut (2022, 2023 dan 2024). Semua diurus B to B antara Jakpro dengan FEO. 

    Jadi, tidak mengambil dana dari pos lain, seperti dana covid atau lain-lain. Malah, Jakarta termasuk kota di dunia yang sukses dalam penenganan covid. 

    Ada setidaknya empat keuntungan penyelenggaraan even-even bertaraf internasional, termasuk Formula E. Pertama, keuntungan ekonomi. Untuk jangka menengah dan panjang, akan mendorong dunia investasi. Kedua, ini menjadi sarana mengangkat citra Indonesia di mata dunia. Formula E disiarkan 40 TV internasional dan ditonton di 150 negara. Ketiga, mendorong berkembangnya teknologi otomotif, terutama yang ramah lingkungan. Formula E menggunakan bahan bakar listrik, dan itu ramah lingkungan. Keempat, keuntungan finansial untuk BUMD, dalam hal ini adalah Jakpro. Ini bisnis. Bisnis mengejar keuntungan. Dan keuntungan itu masuk BUMD, berarti akan jadi milik negara. 

    Jadi, banyak beredar isu terkait dengan Formula E itu, umumnya tidak memiliki data. Jika model begini cara dialog dan komunikasi politik para elit, ini berpotensi merusak mental dan narasi rakyat. 

    Secara politis, banjirnya fitnah akan menguntungkan bagi Anies Baswedan. Selama Anies mau dengan telaten melakukan klarifikasi, maka kecenderungan publik akan semakin positif. Secara alami, ini akan jadi penggung yang sangat efektif bagi Anies. Ini yang barangkali salah atau tidak matang untuk diperhitungkan oleh mereka yang mengambil posisi sebagai rival Anies. 

    Fitnah seperti umpan bola lambung. Anies hanya perlu menyiapkan data-data akurat untuk klarifikasi. Dengan kelengkapan dan akurasi data, serta komunikasi yang santun dan terukur, klarifikasi itu jadi smash yang sangat mematikan. Smash ini yang membuat para penonton selama ini riuh bertepuk tangan, memberi dukungan dan puas. Hasilnya? Anies selalu tampil sebagai pemenangnya. 

    Rakyat harus terus dukung Anies untuk melakukan klarifikasi, agar narasi-narasi yang dibangun atas asumsi dan fitnah tidak menular dan meracuni pikiran rakyat. 

    Silahkan kritik, berdebat dan berkompetisi. Tapi ingat, kepentingan rakyat dan nasib bangsa harus jadi prioritas 

    Jakarta, 1 Oktober 2021

    Tony Rosyid

    Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

    Tony Rosyid
    Update

    Update

    Artikel Sebelumnya

    Door to Door, TNI di Abdya Ajak Warga Tidak...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    ROSITA Initiative: TNI 503 Kostrad Boosts Local Economy, Inspiring Hope in Papua
    Polres Sukabumi Dukung Ketahanan Pangan Melalui panen Sayuran di Polsek Caringin
    Tebar Benih Ikan Nila, Polres Sukabumi Dukung Ketahanan Pangan Prgram Presiden RI
    Kunjungan Kerja Kepala Keuangan Kodam Iskandar Muda ke Korem 012/TU
    Mas Dhito Komitmen Wujudkan Kemandirian Usaha dan Cegah Aksi Bullying Bagi Anak Difabel

    Ikuti Kami