JAKARTA - Politisi PDIP Juliari Peter Batubara ditangkap KPK. Dugaan korupsi dana bansos di kementerian sosial. 17 miliar, kata KPK. Tapi, angka itu terus naik seiring perkembangan kasus. Pro kontra hukuman mati terus meramaikan media.
Juliari ditetapkan sebagai pelaku korupsi, rakyat sepakat. Tapi, ia juga diduga menjadi korban. Korban apa? Kabarnya, ada perintah setoran. Kepada siapa? Hanya KPK yang punya otoritas untuk membongkarnya, jika memang betul adanya. Itupun harus ada niat dan keberanian. Kalau gak ada, maka akan menguap.
Tepat apa yang dilakukan presiden Jokowi: mengganti Julian Peter Batubara. Hanya beberapa pekan setelah Juliari diterapkan jadi tersangka. Bersih-bersih Kabinet.
Juliari masuk bui, digantikan Risma. Mantan Walikota Surabaya. Sama-sama dari PDIP. Kini, tugas Risma sangat berat. Pertama, mengembalikan nama baik PDIP. Partai dimana Risma berkarir. Kedua, menjaga nama presiden sebagai kepala negara yang membawahi semua kementerian.
Baca juga:
Tony Rosyid: Ma'ruf Digoyang, Ma'ruf Melawan
|
Tahun 2020, ada sejumlah kader PDIP ditangkap KPK. Mulai dari kepala daerah hingga menteri. Ini tantangan tersendiri bagi para kader PDIP yang sekarang menjadi pejabat publik. Mampukah mereka bekerja dan menjaga integritas? Portofolio mereka akan sangat berpengaruh pada marwah partai kedepan. Khususnya Risma yang menggantikan posisi tersangka Julian Batubara. Dengan popularitasnya, semua sepak terang Risma akan dipantau publik. Ini bisa menguntungkan buat PDIP. Tapi jika kepleset, bisa bikin jeblok partai banteng ini.
Pasca dilantik, Risma tancap gas. Keliling Jakarta menemui para gelandangan. Hari itu pula, Risma dibully pablik. Kenapa? Ibu Risma itu mensos, bukan kepala dinas sosial Pemprof DKI. Begitu persepsi publik.
Wilayah mensos itu nasional, bukan sebatas DKI. Tugas mensos itu membantu mensejahterakan rakyat miskin, bukan mengumpulkan gelandangan.
Mengawali pendataan warga miskin, mencari faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan, lalu merumuskan program pengentasan kemiskinan. Memastikan anak buah bergerak mengikuti juklak dan juknisnya, ini tugas mensos. Gelandang adalah sedikit dari jumlah orang miskin. Di luar Jakarta, angka kemiskinan lebih besar. Artinya, mereka menunggu ibu mensos dengan bantuan-bantuan yang tepat dan betul-betul sampai ke tangan mereka.
Ukuran keberhasilan mensos bukan pada berapa kali ia bertemu dengan para gelandangan itu. Bukan pula berapa besar bantuan yang diberikan kepada para gelandangan itu. Apalagi cuma ongkos pulang kampung. Bukan! Sama sekali tidak bisa jadi ukuran.
Sukses tidaknya mensos akan diukur seberapa besar angka kemiskinan itu turun, dan seberapa besar tingkat kesejahteraan masyarakat miskin mengalami perkembangan. Setahun, dua tahun, tiga tahun, bisa diukur datanya. Data-data itu bisa menjadi alat yang efektif jika mau dipakai untuk branding.
Baca juga:
Basis Fikar Azami - Yos Adrino Jebol
|
Tentu, kemiskinan bukan tanggung jawab mensos sendirian. Ada kepala daerah. Dalam skala yang lebih makro, ada menko perekonomian. Karena itu, perlu kolaborasi dan sinergi semua pihak. Gak efektif jika berjalan sendiri-sendiri. Kalau maksain untuk jalan sendiri, data tak valid, sasaran bisa gak tepat, program jadi gak terukur. Akibatnya, menteri pun dibully. Ini konsekuensi dari salah sasaran. Salah sasaran atau salah pencitraan? Ah, terserah lu aja deh!
Jakarta, 7 Januari 2021
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa