JAKARTA - 2024 terasa sangat dekat. Meski masih dua setengah tahun lagi. Aroma pilpres sudah terasa menyengat. Tidak hanya publik yang ramai membicarakan, tapi juga partai politik.
Mengapa begitu cepat parpol nncang-ancang untuk pilpres 2024? Pertama, karena rakyat sudah mulai gerah dengan suasana politik yang kurang kondusif. Ini akibat keterbelahan bangsa yang tidak kunjung reda. Kedua, parpol nampaknya sedang adu cepat untuk menampung aspirasi rakyat yang terus melakukan konsolidasi. Ketiga, Jokowi sudah dua periode, otomatis akan berakhir masa baktinya.
Pertemuan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dengan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu di Kepulauan Seribu kabarnya menjadi bagian dari agenda 2024. Tahun sebelumnya, Surya Paloh juga bertandang ke kantor PKS untuk menjajagi koalisi.
Baru-baru ini, publik terkesima dengan pertemuan PPP dan PKS yang berkeinginan menggagas poros umat. Melihat manuver ini, PKB merespon positif. Membuka diri dan siap bergabung. Tentu, dengan catatan. Sementara PAN masih jual mahal.
Bagaimana melihat konstalasi 2024 yang mulai diramaikan oleh manuver sejumlah parpol tersebut?
Semua masih cair. Tetapi, presidensial threshold 20 persen sebagai syarat nyapres memastikan akan hanya ada dua sampai tiga pasang calon. Tidak lebih dari itu.
Jika Gerindra dan PDIP gabung, maka akan lahir sepasang calon. Kabar santer kedua partai ini akan mengusung Prabowo-Puan Maharani. Bisa juga Prabowo-Budi Gunawan. Ini pun masih kira-kira.
Sementara Nasdem, nampaknya sulit untuk bersama-sama dengan PDIP. Ada sejarah 2019 yang membuat Nasdem sepertinya agak sulit didamaikan dalam koalisi dengan PDIP. Nasdem terlihat gesit dan lincah untuk mulai melakukan konsolidasi. Nasdem bisa menggandeng Golkar dan parpol lain. Satu pasang calon hampir pasti lahir dari koalisi Nasdem cs.
Koalisi keummatan yang sedang dijajaki oleh PKS dan PPP bisa terjadi jika PKB ikut gabung. Jika tawarannya menarik, tidak menutup kemungkinan partainya wong NU ini akan ikut gabung. Menarik itu artinya pertama, pasangan calon yang diusung punya peluang besar untuk menang. Kedua, bergaining posisioningnya menggiurkan. Sebaliknya, kalau gak menarik, PKB akan cari yang lebih menarik. Ini lumrah, dan berlaku pada setiap parpol, kecuali dalam keadaan terpaksa.
Bagaimana kubu istana? Jokowi tidak punya partai. Kecuali jika Demokrat kubu Moeldoko menang di PTUN dan diserahkannya kepada Jokowi. Tapi, Jokowi punya 270 plt kepala daerah. Apakah ini cukup kuat bagi Jokowi untuk melakukan bargaining?
Sebagai catatan, presiden Bambang Yudhoyono (SBY) saat pemilu 2014 sudah tidak terlalu dihitung. Kecuali oleh Hatta Radjasa, besan SBY. Padahal, SBY punya Partai Demokrat dan juga seorang jenderal.
Presiden, siapapun itu, cenderung akan ditinggalkan di akhir jabatannya. Semua parpol fokus menatap masa depan, dan tak mau lagi menengok ke belakang.
Bursa pilpres tanpa incumbent akan terasa seperti pasar bebas. Relatif tidak ada tekanan, tidak ada intervensi, dan tak ada yang paling kuat. Apakah di pasar bebas ini, poros umat mampu mengkonsolidasikan kekuatan baru untuk mengusung pasangan calon sendiri? Atau bergabung ke kubu Nasdem cs dan PDIP cs? Kita akan lihat nanti.
Jakarta, 18 April 2021
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa