SEMARANG - Program “Jokawin Bocah” menjadi harapan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menekan angka pernikahan dini. Keberhasilan program ini penting karena akan membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mengatasi persoalan angka kematian ibu dan bayi, serta kasus stunting.
“AKI (angka kematian ibu) dan Akaba (Angka Kematian Bayi) perlu jadi perhatian. Maka, “Jokawin Bocah” menjadi gerakan penting karena hari ini kok banyak anak-anak mulai menikah muda. Jadi pernikahan remaja, (atau) pernikahan dini ini, banyak problem psikologis, fisik, dan sebagainya. Belum persoalan kesehatan dan faktor ekonomi, ” kata Ganjar dalam rilis Humas Provinsi Jawa Tengah
Imbauan ini disampaikan Ganjar saat memberi pengarahan dalam acara Musyawarah Rencana Pembangunan Provinsi Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2018-2023 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2022, Rabu (14/04/2021) di Gradhika Bhakti Praja.
Ganjar menjelaskan, resiko melahirkan di usia dini cukup tinggi, karena rata-rata remaja putri berpotensi mengalami anemia. Untuk mencegah terjadinya pernikahan dini, saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah bekerjasama untuk memberikan penyuluhan. Program ini menjadi salah satu upaya untuk membangun sumber daya manusia.
“Kalau SDM kita dibangun, sebelum menikah (sudah) disiapkan, dan saat hamil diperiksa terus menerus, maka potensi AKI dan Akabanya bisa kita turunkan. Termasuk stunting. (Kasus ini) Jateng masih tinggi. Ini masih jadi perhatian kita, ” bebernya.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah, pernikahan dini pada tahun 2019 tercatat 2.049 kasus. Sementara, pada semester II tahun 2020 naik menjadi 4.618 kasus.
Alexander Jason Lee dari Forum Anak Jawa Tengah mengungkapkan, tingginya angka pernikahan dini ini juga menjadi perhatian pihaknya. Ada banyak motif yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dini. Antara lain hamil di luar nikah, faktor ekonomi ataupun karena keinginan sendiri.
“Alhasil mental mereka banyak yang gagal, dan ketangguhan mereka saat ini (berbeda) dibanding generasi pendahulunya. Dari sini kita melihat peluang. Adanya guru BK (Bimbingan Konseling) jadi solusinya. Yaitu dengan optimalisasi pendidikan karakter berbasis Pancasila dengan adanya Peraturan Pemerintah yang mewajibkan jam khusus pendidikan karakter, ” usulnya.
Menurut Alexander, pendidikan agama saja tidak cukup. Pendidikan karakter justru nanti yang bisa menjadi embrio bagi remaja untuk lebih bersemangat mengejar cita-cita dan menjadi pribadi yang berdaya.
“Ini sudah ada buktinya di Sorong Papua. Dengan hasil dari 39 persen remaja yang merasa (awalnya) tidak bisa menyelesaikan masalah, menjadi hanya 12 persen saja, ” katanya.
Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Prasetyo Aribowo menyambut positif usulan tersebut. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah saat ini juga terus mendorong pendidikan karakter.
“Ini menjadi salah satu hal yang perlu diangkat kembali dalam dokumen perubahan RPJMD maupun RKPD nya. Tolong kita bersama-sama menjadi bagian dari yang menjadi pemikir dokumen perencanaan-nya” katanya.(agl)