Kisah dr. Sophia Berjuang Melawan Corona

    Kisah dr. Sophia Berjuang Melawan Corona
    Foto : Ilustrasi

    JAKARTA - Kisah ini berawal dari ketidaktahuan dr. Sophia Elizabeth Sadoek soal kapan dia terinfeksi virus corona. Seingatnya, pada Maret 2020 ia memang banyak beraktivitas di luar rumah karena urusan pekerjaan.

    "Kalau untuk tepatnya kena, saya tidak tahu. Waktu itu yang saya ingat bulan Maret saya memang banyak keluar rumah mewakili kantor untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan. Kalau tidak pemeriksaan, biasanya vaksinasi. Di pekan-pekan tersebut, saya ditugaskan lebih banyak, " ungkap dr. Sophia saat diwawancara pada awal November lalu.

    Satu yang luput dari perhatiannya adalah dirinya sempat satu hari tidak memakai masker saat beraktivitas di luar. Memang pada saat itu, kasus corona virus sudah masuk. Namun, masih sangat sedikit. Jadi, ia tidak menyangka bisa kena.

    Satu hal mengapa ia juga terpaksa tidak pakai masker adalah karena harga masker saat itu sedang "gila", tidak masuk akal. Pada momen itu juga belum ada penelitian terkait masker kain.

    "Waktu itu kondisinya masker sedang laku di pasaran dan banyak yang habis. Jadi, pernah satu kali tidak pakai masker karena saya tidak berpikir akan kena karena baru beberapa orang yang terinfeksi, " sambungnya.

    Gejala yang dirasakan dr. Sophia cukup jelas. Ia mengaku mengalami demam yang sangat tinggi dua hari sebelum masuk rumah sakit.

    "Waktu itu saya masuk RS tanggal 29 Maret, tapi demam dari 27 Maret. Jadi, saya masih masuk kantor dari Jumat. Namun sebelumnya, belum muncul demam, Tubuh saya lemasnya luar biasa. Karena kerjaan banyak, saya tahan-tahan.”

    “Begitu keluar kantor, saya mulai panas, sekitar jam 7 malam saat sampai rumah. Jam 9 malam saya sudah tidak tahan dan minum obat pereda panas. Kondisinya begitu juga di hari sebelumnya, " ungkap dr. Sophia.

    "Namun yang jelas, dua hari sebelum masuk rumah sakit, saya demam sekitar 38, 5 derajat Celsius. Karena demam, saya tidak ke kantor. Namun, saya tidak curiga kena COVID-19 meski saya demam dan merasakan mual. Waktu panas sehari, saya minum obat penurun panas saja. Ketika berulang, saya keringatan dan mual sekali, " ujar ibu tiga anak ini mengutarakan gejalanya.

    Dalam kondisi yang sangat lemah dan mual, ia memutuskan untuk ke laboratorium dekat rumahnya untuk memeriksakan keadaan. Dalam hasil pemeriksaan tersebut, ia justru didiagnosis terkena tifus.

    “Setelah diperiksa, hasilnya cukup berarti. Jadi, saya dirujuk ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Timur untuk melakukan pemeriksaan lainnya, seperti rontgen dan lab. Begitu dilakukan pemeriksaan, diambil kesimpulan saya harus dirawat."

    Wanita berusia 48 tahun ini sampai saat ini bisa dibilang sebagai pasien terlama COVID-19 di Indonesia. Ia bahkan sampai dirujuk ke tiga rumah sakit untuk bisa pulih dari virus corona!

    “Jadi, 16 hari saya di RS pertama, kemudian dirujuk ke Wisma Atlet selama 18 hari. Kemudian, dari Wisma Atlet ketahuan kalau jantung saya tidak bagus karena saya punya penyakit penyerta gangguan jantung. Saya kemudian dirujuk lagi ke RS Pertamina dan di sana saya sekitar 28 hari dan total 62 hari, " ungkap dr. Sophia.

    "Saya total 62 hari dirawat di rumah sakit. Saya pasien terlama. Saya dirujuk tiga rumah sakit. Waktu masuk dua hari awal di rumah sakit pertama saya dinyatakan tifus, tapi sebenarnya saya ingin tahu juga positif COVID-19 atau tidak. Saya minta di-rapid test dan hasilnya positif tanggal 30, " ucap dr. Sophia.

    "Setelah itu diisolasi. Kemudian begitu 1 April saya minta di-swab, hasilnya 14 hari, jadi selama itu saya dirawat dengan obat-obatan tifus, tapi seminggu terakhir uji coba obat COVID-19.”

    Namun, secara total dirinya bisa dinyatakan sembuh dan kembali berkumpul dengan keluarga adalah 85 hari. Ia mengaku butuh tambahan waktu setelah 62 hari di rumah sakit karena merasa tidak yakin benar sudah sembuh total atau tidak.

    "Setelah 14 hari sebenarnya tidak perlu lagi tes, cuma saya ingin memastikan saja. Karena semua keluarga diungsikan dan mereka mau balik, saya tetap menjaga. Saya akhirnya ke puskesmas untuk minta swab. Habis 14 hari itu, saya ajukan swab, tunggu 3 hari baru di-swab, setelah itu hasilnya menunggu seminggu. Jadi benar-benar total baru ketemu keluarga setelah 85 hari, " jelasnya.

    Bayangkan, waktu yang dialami dr. Sophia selamat isolasi mandiri. Sendirian tanpa kawan. Bosan sudah pasti, kangen dengan keluarga juga tambah menyiksa. Bahkan, sempat hilang harapan juga untuk sembuh.

    Berat rasanya menjadi dr. Sophia. Ketakutan tidak sembuh mulai muncul setelah tak jua pulih dalam waktu yang sangat lama. Apalagi melihat teman-teman yang tadinya masuk rumah sakit bersamaan tapi bisa keluar duluan.

    "Sebenarnya waktu di rumah sakit pertama saya tidak begitu takut, di Wisma Atlet juga. Tapi waktu di RS yang ketiga, saya khawatir. Karena saya, kok, tak sembuh-sembuh, tidak seperti orang lain. Jadi saya terbalik dengan orang lain, kalau yang lain takut di awal, saya malah takut belakangan. Saya bertanya-tanya bisa sembuh atau tidak, " kata dr. Sophia.

    "Sebenarnya saya tidak merasakan apa yang orang bilang soal COVID-19. Saya tidak merasakan sesak napas, panas juga tidak. Saya hanya demam dua hari awal sebelum masuk RS yang pertama. Cuma, memang saya batuk.”

    “Karena saya ada penyakit jantung, saya malah merasakan yang mengganggu adalah jantungnya. Saya merasa tertekan di bagian dada, napas berat kalau melakukan aktivitas, " sambung wanita yang tinggal di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur ini.

    Dokter Sophia mengaku, awal tanda-tanda jantung sebenarnya sudah tidak baik sejak awal dari RS yang pertama. Jadi, setelah seminggu sebelum keluar dari RS pertama, obat-obatan sudah mengarah kepada penyembuhan COVID-19.

    "Tapi saat diberikan klorokuin, jantung saya malah tidak bagus. Kemudian karena jantung tidak bagus, makanya saya dirujuk ke RS Pertamina, " ucap dr. Sophia.

    Takut tidak sembuh benar-benar dirasakan dr. Sophia. Karena semua pasien yang berbarengan dengan dirinya justru keluar lebih dulu, apalagi semua pasien itu justru dr. Sophia sendiri yang menguatkan.

    Maklum, sebagai dokter, ia punya pengetahuan medis lebih tinggi dibanding pasien-pasien lain yang orang umum. Tapi nyatanya, mereka malah bisa sembuh lebih dulu dibanding dirinya.

    "Sebenarnya saya di rumah sakit sering mengimbau banyak hal kepada pasien lain karena saya dokter. Sering mengingatkan jaga protokol dan segala macamnya. Tapi lucunya pasien lain keluar, saya tidak.”

    “Terakhir ada lima orang, semua saya ajak olahraga bareng, saya bikinin air panas, semua saya ajarkan dengan baik. Mereka semua bisa sembuh dan keluar, tapi anehnya malah saya tidak sembuh-sembuh, " kata dr. Sophia sambil berkelakar.

    Ia berpikir, obat sudah paling tinggi tapi kenapa tidak kunjung sembuh? Hal ini sempat melemahkan harapannya.

    "Sejak saat itu saya mulai khawatir. Apalagi saat itu saya sudah minum Avigan, obat paling diandalkan untuk COVID-19. Biasanya, kalau sudah diberikan Avigan, hasil swab akan negatif. Namun, saya swab sampai sepuluh kali tidak sembuh dan itu rekor. Jadi, saya awalnya berpikir bahwa sehabis Avigan sembuh. Ternyata setelah itu masih positif juga, " ucap dr. Sophia.

    Namun, dr. Sophia tidak patah arang. Ia mengaku kekuatannya untuk sembuh tetap ada. Dirinya mengatakan, saat dokter sudah angkat tangan, ia sangat percaya bahwa Tuhan menunjukkan kuasanya.

    "Saat itu dokter bahkan sampai bilang bahwa tidak tahu harus kasih obat apalagi karena sudah diberikan Avigan tapi tidak mempan juga. Nah, saat dokter sudah angkat tangan, saat itu Tuhan yang menolong, " ujarnya.

    Ketika tak kunjung sembuh, dirinya benar-benar memasrahkan diri kepada Tuhan. Ia hanya berpikir, ada maksud tertentu dari Tuhan kepada dirinya mengapa dirinya tidak kunjung sembuh.

    Namun, Tuhan memang berkata lain. Saat Avigan sudah tidak mempan, ia meminta kepada RS Pertamina untuk berada di ruang sendiri tanpa ada pasien lainnya.

    "Sebenarnya tidak boleh, tidak diizinkan, tapi saya memaksa dan saya bilang saya akan membuktikan tiga hari saja. Saya ingin buktikan bahwa saya sendiri bisa sembuh, " jelasnya.

    "Saya waktu itu mintanya juga pakai teori. Kalau saya berada sendirian di kamar tertutup, itu memperkecil risiko penularan. Ketika tidak berinteraksi dengan orang lain, risiko penularan menurun, " sambung dr. Sophia.

    Akhirnya, kabar baik yang dinantikan datang juga. Ia akhirnya dinyatakan sembuh setelah dua kali swab negatif dalam waktu tiga hari ketika berada di ruangan perawatan sendirian.

    Cerita dr. Sophia setidaknya mengingatkan kita, virus corona tidak pandang bulu. Sekali pun Anda dokter, bisa kena juga. Bahkan, ia menjadi pasien terlama di Indonesia.

    Mari jaga protokol kesehatan dengan baik. Jangan keluar rumah kalau tidak perlu. Jaga diri dan orang tersayang di sekitar Anda.(JH)

    berjuang melawan corona
    Joni Hermanto

    Joni Hermanto

    Artikel Sebelumnya

    Sekda Bagikan Bingkisan Idul Fitri untuk...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Polresta Banyuwangi Bersama Stakeholder Terkait Gercep Atasi Pohon Tumbang
    Kesatria Mayangkara Tebar Kasih Natal, Persembahkan Kesaksian Suci di Kenyam Papua
    Babinsa Koramil 0602-15/Baros Kawal Penyaluran Bansos PKH Demi Kelancaran Dan Keamanan
    ROSITA HABEMA: Prajurit TNI Borong Hasil Tani, Ekonomi Mbilusiga Bergairah
    Personel Polsek Tegalwaru Monitoring Jalan Utama Loji - Pangkalan di Depan Puskesmas Pada Patroli Malam

    Ikuti Kami