JAKARTA - Sebut saja para pahlawan dan tokoh nasional yang ikut memerdekakan bangsa dan negara yang bernama Indonesia ini, kalau tidak bisa dikatakan semuanya berlatar belakang Jurnalis, maka sebagian besar mereka adalah penulis yang aktif menyuarakan hak azasi yang tertindas.
Mulai dari Soekarno sampai dengan Bung Kecil Sutan Syahrir adalah jurnalis atau penulis aktif.
Para pahlawan ini sangat serius dan gencar menyuarakan kemerdekaan, dan kesetaraan bagi semua manusia di muka bumi tanpa membedakan kasta dan profesi.
Para jurnalis pejuang ini meninggalkan legacy kemerdekaan bagi bangsa dan negara ini, sehingga bisa mengurus urusannya sendiri di tanah air yang satu, Indonesia.
Setelah negara ini dinyatakan merdeka, dan diurus oleh bangsanya sendiri, apakah kemerdekaan itu benar-benar terjadi dan dinikmati oleh semua rakyat dan profesi yang ada di negara ini? Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab dengan hati-hati, karena kebebasan atau kemerdekaan berpendapat sudah mulai dikebiri, dengan berbagai cara dan intimidasi.
Apakah saat ini para jurnalis ini bebas dalam menjalankan profesinya? Apakah para jurnalis ini bebas berkarya dan karyanya dihargai? Apakah para jurnalis ini tidak didiskriminasi dalam berusaha dan berkehidupan sebagai pejuang amanat penderitaan rakyat?
Atau hanya sebagai tangga naik saja bagi para politisi dan birokrat dalam membangun opini dan pencitraan diri belaka.
Begitu banyak eksploitasi yang dilakukan terhadap jurnalis, mulai sertifikasi yang dimonopoli, sampai banyak aturan yang membatasi dalam ikut berekonomi dalam bisnis informasi, dan jurnalis tetap diam dalam ketakutan.
Bersuara adalah tiket untuk masuk penjara, dengan delik pencemaran nama baik bagi para maling uang negara yang bisa membeli hukum dengan hasil rampasannya.
Idealnya, jika sertifikasi profesi diterapkan bagi para jurnalis harus bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk berpraktek sebagai seorang jurnalis, sama halnya dengan seorang dokter yang bisa berpraktek tanpa harus mendirikan Perusahaan berbadan hukum atau PT.
Tak ada perbedaan dalam menjalankan profesi, dokter dan jurnalis sama-sama berpraktek dengan kode etik. Dokter mengikuti kode etik kedokteran, sementara jurnalis mengikutik kode etik jurnalistik.
Tapi apa yang terjadi, Dokter bisa berpraktek mandiri dengan sertifikat izin praktek dari asosiasi, sementara jurnalis setelah sertifikasi masih perlu Perusahaan berbadan hukum dengan kewajiban Pemimpin Redaksi bersertifikat Wartawan Utama.
Sampai kapan aturan yang memasung kebebasan dan kemerdekaan, serta diskriminasi terhadap profesi jurnalis ini terjadi, bahkan diterapkan oleh kawan seprofesi sendiri.
Selamat Hari Pers Nasional (HPN) 09 Februari 2021.
Sudahkah kita para jurnalis merdeka di Hari Pers Nasional 2021 ini?
Jakarta, 9.02.2021
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia (JNI)