POLITIK - Korupsi di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak masa Orde Baru hingga era Reformasi, praktik korupsi telah mengakar kuat dalam tubuh negara. Namun, satu akar yang sering kali terlupakan adalah hubungan erat antara politik uang dan korupsi.
Politik uang, dalam bentuk bagi-bagi amplop, bantuan sosial (bansos), dan sponsor dari pengusaha saat pemilu, sering dianggap sebagai bibit yang menumbuhkan korupsi dalam sistem pemerintahan.
Dalam tulisan ini, saya akan mengungkapkan betapa pentingnya memahami hubungan ini dan mengapa kita harus berkomitmen untuk memberantasnya.
Politik Uang sebagai Lumbung Korupsi
Politik uang adalah praktik memberi atau menerima uang untuk memengaruhi keputusan dalam proses politik, terutama dalam pemilihan umum (pemilu), baik itu Pilpres, Pilkada, Pilgub, maupun Pileg.
Pada umumnya, para calon legislatif, kepala daerah, dan bahkan presiden menggunakan politik uang untuk membeli suara pemilih. Fenomena ini terjadi karena calon yang terpilih akan memiliki akses ke dana negara yang besar.
Dengan demikian, mereka akan memiliki peluang untuk mengembalikan "investasi" yang mereka keluarkan selama kampanye melalui proyek-proyek yang menguntungkan bagi pengusaha atau kelompok tertentu. Praktik ini memperburuk ketimpangan ekonomi dan meningkatkan peluang bagi korupsi.
Baca juga:
Basis Fikar Azami - Yos Adrino Jebol
|
Salah satu bentuk nyata dari politik uang adalah bagi-bagi amplop. Hal ini bukan hanya terjadi di kalangan pemilih biasa, tetapi juga merembet pada kalangan elite politik. Bahkan, di beberapa daerah, calon kepala daerah atau anggota legislatif melakukan transaksi uang secara terang-terangan dengan pengusaha dan individu-individu yang memiliki kepentingan.
Ini menciptakan hubungan saling menguntungkan yang pada gilirannya berpotensi menumbuhkan praktik korupsi yang lebih besar setelah calon terpilih.
Bansos dan Politik Uang: Mengaburkan Tujuan Sejati
Bagi-bagi bantuan sosial (bansos) juga menjadi salah satu metode yang sering digunakan dalam politik uang. Program-program bansos, yang seharusnya bertujuan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, malah disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Saat pemilu mendekat, bansos yang seharusnya ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat justru digunakan untuk membeli simpati dan suara. Penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran ini memperburuk kesenjangan sosial dan merusak integritas lembaga pemerintahan.
Bansos yang menjadi alat politik uang ini sering kali dimanfaatkan oleh para calon untuk menarik perhatian publik, padahal di balik pemberian tersebut ada motif terselubung: suara.
Dengan membungkus politik uang dalam bentuk bantuan sosial, para calon memanfaatkan kebutuhan mendasar rakyat untuk meraih kemenangan dalam pemilu.
Dalam jangka panjang, ini bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga menciptakan budaya ketergantungan yang merusak kehidupan sosial dan ekonomi bangsa.
Sponsor dari Pengusaha: Mengaburkan Kebenaran
Sponsorship dari pengusaha juga memiliki peran penting dalam memicu korupsi. Pengusaha yang mendanai kampanye politik sering kali memiliki harapan bahwa dukungan finansial mereka akan membawa keuntungan besar jika calon yang mereka dukung terpilih.
Sering kali, setelah pemilu, pengusaha tersebut mendapatkan proyek-proyek negara yang kemudian disertai dengan pembayaran tak sah atau bahkan suap.
Proses ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menciptakan hubungan yang sangat tidak sehat antara pengusaha dan pejabat publik.
Korupsi: Sebuah Siklus yang Terus Berputar
Praktik politik uang, bagi-bagi amplop, bansos, dan sponsor pengusaha dalam pemilu adalah akar dari tumbuhnya budaya korupsi di Indonesia.
Korupsi tidak hanya melibatkan oknum pejabat, tetapi juga melibatkan pengusaha dan masyarakat yang akhirnya terjebak dalam sistem yang merusak.
Setelah terpilih, pejabat yang terlibat dalam politik uang merasa berkewajiban untuk mengembalikan "investasi" mereka kepada para sponsor dengan cara mengalokasikan anggaran negara untuk proyek-proyek yang menguntungkan kelompok tertentu.
Masyarakat yang menerima amplop atau bantuan sosial pun tidak luput dari tanggung jawab. Sebagai pemilih, mereka turut serta dalam praktik yang merusak demokrasi.
Mereka seharusnya memilih berdasarkan kualitas calon pemimpin dan program-program yang akan dijalankan, bukan berdasarkan seberapa banyak uang yang diberikan kepada mereka.
Ketika politik uang dan korupsi sudah dianggap sebagai hal yang wajar, maka kita telah membiarkan siklus buruk ini terus berputar.
Solusi: Membutuhkan Perubahan Fundamental
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan yang mendalam.
Pertama, pemilu harus diatur dengan lebih ketat untuk mencegah praktik politik uang. Pengawasan yang lebih kuat, baik oleh KPU, Bawaslu, maupun masyarakat, harus diterapkan untuk memastikan bahwa calon pemimpin tidak membeli suara rakyat.
Kedua, bansos harus didistribusikan dengan transparansi yang lebih tinggi, sehingga tidak ada manipulasi politik dalam penyalurannya.
Ketiga, hubungan antara pengusaha dan pejabat publik harus dijaga dengan ketat untuk mencegah terjadinya suap dan kolusi.
Korupsi bermula dari politik uang, dan ini adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh elemen bangsa. Jika kita benar-benar ingin memberantas korupsi, kita harus menghentikan praktik politik uang dan memastikan bahwa demokrasi yang kita jalankan benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada kelompok-kelompok tertentu yang hanya mementingkan keuntungan pribadi.
Perubahan ini tidak hanya membutuhkan kebijakan yang tepat, tetapi juga kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat untuk menanggalkan budaya yang sudah mengakar ini.
Jakarta, 19 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi