JAKARTA - Pak Jokowi menolak tiga periode. Pesan itu jelas dan tegas. "Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode, itu satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka. Padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan. Itu aja", kata Pak Jowowi di Istana Merdeka, dua tahun lalu. Tepatnya, senen 2 Desember 2019.
Pak Jokowi benar. Bahwa nama baik dipertaruhkan jika ada wacana tiga periode. Ini soal komitmen reformasi, dan soal konsistensi menjaga iklim demokrasi. Siapapun yang mewacanakan tiga periode benar-benar akan menampar wajah Pak Jokowi. Cari muka!
Baca juga:
AKAS Pasang Tema Baru "3 Kali Lebih Mantap"
|
Belajar dari Orde Lama 22 tahun, dan Orde Baru 32 tahun, para tokoh kita di era reformasi bersepakat untuk membatasi masa jabatan presiden dua periode. Alasannya, pertama, semakin lama presiden berkuasa, godaan untuk ingin terus berkuasa akan sangat besar. Mula-mula tiga periode, lama-lama keenakan, atau bahkan ketakutan kehilangan kekuasaan (terutama di lingkaran presiden), akhirnya lanjut. Jadinya, seumur hidup. Ini tentu tidak kita kehendaki bersama. Kita sepakat tidak ingin mengulang masa kelam Orde Lama dan Orde Baru.
Kedua, semakin berkuasa, umumnya akan semakin otoriter. Ketika semua berada dalam kendali kekuasaan, presiden tergoda untuk berbuat semaunya. Terutama jika presiden terjebak dalam satu kesalahan, maka godaan untuk menggunakan kekuasaan dalam rangka menutupi kesalahan itu akan makin besar. Disinilah peluang otoriter terjadi.
Ketiga, tak ada presiden yang tidak memiliki rival politik. Makin lama, makin banyak jumlah rival politiknya. Dan semakin lama, semakin kuat pula perlawanan itu. Sampai disini, konflik politik seringkali melibatkan sarana kekuasaan. Semakin banyak rival politik yang dipenjara, ini membuka potensi adanya dendam politik di kemudian hari. Orda Lama dan Orde Baru dalam kenyataannya telah melahirkan dendam politik yang begitu besar. Kita tak ingin mengulanginya lagi.
Membatasi periodesasi jabatan presiden dua periode setidaknya dapat meminimalisir lahir dan tumbuhnya dendam politik yang membuat dialektika kebangsaan kita semakin tidak sehat.
Selain itu, keterbelahan politik, jika itu ada, juga segera berakhir seiring berakhirnya jabatan presiden itu.
Keempat, pembatasan jabatan presiden berfungsi untuk memberi kesempatan generasi yang lebih muda berkiprah dan ambil peran untuk bangsa. Tenaga muda itu lebih fresh. Anak muda tahu kebutuhan zamannya. Rakyat pun bersemangat dengan presiden yang baru. Ada harapan dan mimpi baru yang tumbuh dalam benak rakyat.
Dalam rangka menginsafi Orde Lama dan Orde Baru, maka yang paling rasional untuk era reformasi adalah jabatan presiden dua periode. Lebih dari itu merupakan gagasan dan wacana yang kontra-reformasi, kontra-produktif, tidak reformis, tidak rasional, terkesan dipaksakan, dan hanya untuk memuaskan kepentingan segelintir orang. Lebih dari dua periode berpotensi mendorong lahirnya dendam politik yang berkepanjangan di kemudian hari. Dan yang paling mengkhawatirkan hal ini dapat membuat rakyat makin frustrasi.
Presiden Jokowi sadar betul akan berbagai resistensi ini, maka wajar jika beliau dengan tegas menolak tiga periode. Penolakan Pak Jokowi adalah aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat yang sadar pentingnya mengawal reformasi. Kita semua, rakyat Indonesia, sepakat dengan Pak Jokowi. Spirit reformasi dan komitmen demokrasi harus dijaga dan kita selamatkan bersama.
Jakarta, 27 Mei 2021
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa