JAKARTA - Pandemi akibat Covid-19 belum juga berakhir. Bahkan eskalasinya justru naik. Setiap hari hampir 13 ribu orang terinveksi. Lebih dari 200 orang mati. Total kematian mencapai lebih dari 24 ribu.
Segala upaya sudah dilakukan. Mulai 3M sampai membatasi aktifitas kerja dan kerumunan. Saat pandemi, semua aspek kehidupan termasuk sosial, ekonomi dan ibadah mengalami banyak perubahan.
Selama pandemi, puluhan orang kena denda akibat melanggar prokes, khususnya di DKI. Soal prokes, DKI memang dikenal lebih tegas dari daerah lain.
Ada juga yang dipenjara gegara melanggar prokes. Tapi, kenapa angka terinveksi tak juga turun, malah terus naik? Tiga penyebabnya, yaitu pertama, kebijakan yang sering terlambat dan tidak konsisten. Kedua, aturan yang tidak benar-benar ditegakkan untuk semua. Ketiga, kedisiplinan masyarakat yang rendah. Ujung-ujungnya, herd immunity.
Saat ini, 3M dianggap tidak cukup. Muncul gagasan vaksinasi. Bahkan sudah dijalankan. Semua langkah memang perlu ditempuh, selama itu memberi efek pencegahan, atau setidaknya meminimalisir jumlah terinveksi. Selama tujuan dan realisasinya benar, efek positifnya terukur, dan juga terjamin keamanannya, rakyat relatif akan bisa menerima.
Ada penelitian menarik yang dilakukan Kemenag soal vaksinasi. 54, 37 persen rakyat menerima untuk divaksin. 9, 39 persen menolak. Dan 36, 25 persen belum memutuskan. Bisa diartikan, masih ragu.
Masih banyak masyarakat yang masih ragu dan menolak untuk divaksin. Mulai dari dokter, perawat, anggota DPR hingga rakyat biasa. Salah satunya karena faktor informasi yang simpang siur.
Ada enam hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum "atau sembari" program vaksinasi dijalankan. Pertama, perlunya jaminan bahwa vaksinasi ini halal, aman, efektif dan tidak ada risiko. Jika ada risiko, baik ringan maupun berat, pemerintah sebaiknya menjamin akan bertanggungjawab, setidaknya secara materiil. Misal, pemerintah menanggung biaya rumah sakit jika terjadi risiko akibat vaksinasi. Pemerintah pun menjamin biaya hidup keluarganya jika sampai ada tulang punggung keluarga yang meninggal akibat vaksinasi.
Kedua, soal regulasi. Vaksinasi wajib, boleh menolak tanpa sanksi, atau seperti apa. Vaksinasi jadi tanggung jawab pusat, atau daerah. Perlu ada kepastian hukum. Entah itu kepres, peraturan menteri, atau peraturan kepala daerah. Bila perlu Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Menteri: Menkes, mensos, menkominfo, mendagri, menkumham dan menteri BUMN. Kok banyak kali menteri yang terlibat? Biar mantabs! Sekarang lagi musim serba "enam".
Ketiga, soal panduan teknis. Mesti jelas siapa yang melakukan vaksinasi, dimana saja tempat vaksinasi, urutan pasien berdasarkan profesi dan wilayah, serta kepastian schedulenya. Setiap orang dapat berapa kali vaksinasi. Semua orang akan mendapat vaksin sinovac yang sama atau beda. Apa saja yang harus dilakukan oleh peserta vaksinasi, baik sebelum atau sesudah divaksin. Setelah divaksin, bolehkah berkerumun tanpa masker, misalnya. Disini, perlu panduan secara rinci.
Keempat, sosialisasi. Perlu ada jubir khusus yang ditunjuk sebagai pihak resmi yang menyampaikan informasi atas nama pemerintah. Kalau semua pejabat bicara tentang vaksinasi, rakyat jadi bingung. Pejabat A bilang ada sanksi. Pejabat B bilang gak ada sanksi. Menteri A bilang ini, menteri B bilang itu, kan berabe. Simpang siur! Sudah lama simpang siur informasi dari para pejabat tinggi negara terjadi. Sudah waktunya ditertibkan.
Kelima, konsistensi. Mesti dipikirkan, didiskusikan dan direncanakan secara matang sebelum aturan, kebijakan atau panduan terkait vaksinasi itu dibuat. Inkonsistensi akan pasti terjadi jika persiapan tidak matang.
Keenam, perlu pengawasan. Jangan sampai ada malpraktek, atau adanya pihak-pihak yang berbisnis secara tidak halal di program vaksinasi ini. Agar tidak bernasib seperti bansos dan kementerian benur, Program vaksinasi mesti diawasi lebih ketat, supaya tidak ada lagi korupsi. Bila perlu, KPK terlibat.
Jaminan halal, aman, efektifitas, serta ada pertanggungjawaban medis dan material dari pemerintah kemungkinan akan dapat mengurangi setidaknya tingkat keraguran pada rakyat.
Jakarta, 16 Januari 2021
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa