JAKARTA - Meski pandemi Covid-19 belum ada tanda-tanda berakhir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim akhirnya mengizinkan sekolah-sekolah kembali menyelenggarakan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021. Semua sekolah boleh, tanpa pengecualian. Baik itu pada sekolah di zona risiko ketersebaran Covid-19 (merah, kuning, orange, atau hijau). Ketentuan boleh tidaknya sekolah menyelenggarakan proses belajar tatap muka kini diserahkan kepada masing-masing daerah.
"Jadi daerah dan sekolah sampai sekarang kalau siap tatap muka ingin tatap muka, segera tingkatkan kesiapan untuk laksanakan ini, " kata Nadiem dalam konferensi pers daring, Jumat (20/11/2020).
Kebijakan ini merupakan hasil dari Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri. Yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri.
Keputusan pembukaan sekolah nantinya akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah.
Sekalipun sekolah memutuskan menggelar tatap muka, orang tua masing-masing siswa juga dibebaskan untuk menentukan apakah anaknya dizinkan masuk sekolah atau tidak. "Kami memperbolehkan bukan mewajibkan, " kata Mas Menteri, begitu Nadiem biasa disapa.
Syarat lain untuk menyelenggarakan tatap muka adalah sekolah harus memenuhi daftar periksa. Ada enam daftar periksa yang dipersyaratkan, yakni:
Ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, seperti: toilet bersih dan layak adanya sarana cuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer disinfektan;
- Mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan;
- Kesiapan menerapkan wajib masker;
- Memiliki thermogun;
- Memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang: memiliki komorbid tidak terkontrol tidak memiliki akses terhadap transportasi yang aman memiliki riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko Covid-19 yang tinggi atau riwayat kontak dengan orang terkonfirmasi positif Covid-19 dan belum menyelesaikan isolasi mandiri; dan
- Mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua atau wali.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung rencana Kemendibud itu. Hanya mereka memberi catatan. Menurut Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti agar tak terkesan lempar tanggung jawab, pemerintah pusat sebaiknya tak memberikan begitu saja kepada pemerintah daerah.
Pemerintah pusat dan daerah mesti bersinergi membangun sistem informasi, komunikasi, koordinasi, dan pengaduan yang terancana. "Pusat dan daerah bisa bersinergi melakukan persiapan buka sekolah dengan infrastruktur dan protokol kesehatan/SOP adaptasi kebiasaan baru (AKB) di sekolah, " kata Retno.
Untuk memantau kesiapan sekolah menyelenggarakan proses belajar tatap muka, KPAI sempat menggelar pengawasan di delapan provinsi. Kedelapan provinsi itu yakni Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, D.I Yogjakarta, Banten, DKI Jakarta, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Barat.
“Sekolah yang saya datangi langsung mencapai 30 sekolah dari total 48 sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP sampai SMA/SMK, " ujar Retno.
Hasilnya? Retno menyebut sebagian besar sekolah belum siap dengan infrastruktur dan protokol yang diperlukan. Dari sekolah yang didatangi itu hanya dua sekolah yang siap yakni SMKN 11 Kota Bandung dan SMPN 4 Kota Solo.
Dari hasil pengawasan itu, KPAI mengeluarkan enam rekomendasi, yaitu:
Pemda dan Pemerintah fokus mempersiapkan infrastruktur juga protokol kesehatan/SOP, dan bersinergi dengan Dinas pendidikan, Dinas Kesehatan, dan gugus tugas Covid-19 di daerah.
- Pemda dan Pemerintah Pusat harus mengarahkan politik anggaran ke pendidikan, terutama persiapan infrastruktur buka sekolah demi mencegah sekolah menjadi kluster baru. Jika daerah belum siap, KPAI meminta menunda sekolah membuka belajar tatap muka, meskipun di daerah itu zonanya hijau.
- KPAI mendorong tes swab bagi seluruh pendidik dan tenaga kependidikan dengan biaya dari APBD dan APBN sebelum memulai pembelajaran tatap muka di sekolah.
- KPAI mendorong pembukaan kembali sekolah tidak ditentukan berdasarkan zonasi Covid-19, namun lebih kepada kesiapan semua pihak.
- KPAI mendesak Disdik memerintahkan kepada seluruh MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) di level sekolah untuk memilih materi-materi yang akan diberikan, karena siswa akan masuk bergantian.
- KPAI meminta Pemda dan sekolah untuk tidak langsung memulai sekolah tatap muka dengan separuh jumlah siswa, namun berangsur mulai dari sepertiga jumlah siswa terlebih dahulu.
Dampak PJJ
KPAI pernah merilis survei proses pembelajaran jarak jauh pada Agustus lalu. Berdasarkan survei yang pernah dilakukan KPAI menyebutkan, PJJ mendapat respons negatif dari murid dan orang tua murid. Survei yang melibatkan 1.700 responden dari 34 provinsi, menyebut faktor fasilitas menjadi persoalan paling mencolok.
Sebanyak 43 persen responden mengatakan persoalan kuota menjadi masalah utama mereka. Sedangkan yang tak punya alat mencapai 39 persen. Dan yang tak memiliki semuanya (kuota dan alat) mencapai 16 persen.
Menurut Deputi Menteri Bidang Pendidikan dan Agama Kemenko PMK, Agus Sartono PJJ menimbulkan akses kesenjangan capaian belajar. Mereka yang bisa mengakses sinyal bagus tentu akan lebih baik dan sebaliknya. Selain itu, selama PJJ siswa banyak yang terbebani oleh banyaknya tugas dari guru.
Dampak itu juga diakui Nadiem. Kata dia, selama ini banyak daerah, terutama desa-desa terpencil kesulitan melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). "Setelah melakukan evaluasi, kita harus menyadari bahwa hasil pembelajaran jarak jauh ini ada dampak negatif yang terjadi pada anak. Itu satu hal yang nyata, " ujarnya. (Sejumlah siswa mengikuti simulasi belajar tatap muka di SMP Negeri 7 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (16/11/2020). (***)