JAKARTA - Setelah Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengumumkan dua warga Indonesia positif mengidap virus corona (COVID-19), Senin (2/3/20) lalu, menandakan kasus pertama yang terjadi di negara ini, reaksi panik dari masyarakat merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Apalagi, pengumuman ini muncul di tengah kekhawatiran negara dengan penduduk terpadat keempat di dunia ini tidak mampu mengidentifikasi penyebaran virus tersebut.
Lantas bagaimana jurnalis dan media di Indonesia harus menyikapi pemberitaan tentang virus corona ini? Telum merangkum sejumlah opini jurnalis-jurnalis tentang bagaimana seharusnya jurnalis dan media di Indonesia menyikapi kasus corona tersebut.
Yadi Hendriana, Pemimpin Redaksi MNC TV
Pers harus bekerja sesuai tugasnya memberikan informasi yang benar dan sesuai fakta, menghindari hoax dan harus verifikasi. Hal yg paling penting pastikan informasi itu akan menjadi produk “positive journalism” berdampak baik bagi publik dan jangan menyebar ketakutan.
Privasi korban tidak boleh diumbar dan dipublikasikan karena akan berdampak buruk. Hak publik untuk mendapat informasi jangan sampai melanggar hak private dan membahayakan orang. Media memberikan informasi harus, educated inform, security inform dan tidak boleh ada trial by the press. Keselamatan publik yang utama, Etika informasi sesuai kode etik jurnalistik harus di kedepankan.
Trisno Heriyanto, Pemimpin Redaksi Uzone.id
Waspada pasti, tapi kita juga harus menyikapinya dengan hati-hati. Terlalu banyak informasi soal virus Corona yang masih belum terbukti kebenarannya, jadi semua informasi yang didapat harus diverifikasi secara bertahap yang sumber resmi atau yang memang kuat di bidangnya.
Peliputan harusnya fokus terhadap objek Corona, bukan siapa pasiennya apa jenis pekerjaannya atau riwayat kesehatannya dan bahkan keluarganya. Cross check setiap dapat informasi baru soal Corona. Tak perlu dikemas secara bombstis, cukup menyajikan faktanya saja. Jangan terlalu berlebihan (untuk presenter TV) dengan tampil menggunakan masker yang tidak sewajarnya.
Fikri Muhammad, Jurnalis National Geographic Indonesia
Sebagai jurnalis, saya belum mendapat kepuasan dari narasumber yang kredibel untuk berbicara (pemerintah). Saya belum puas karena kadangkala jawabanya terdengar asal. Narasinya selalu menginginkan agar masyarakat tenang tapi tidak memberikan statement yang tak masuk akal. Cenderung terdengar menggelitik di telinga masyarakat maupun saya pencari berita.
Saya tak bisa pungkiri bahwa kebutuhan pasar media sekarang seringkali menghilangkan azas etika jurnalisme. Saya hanya bisa berharap kepada para editor-editor media se-Indonesia bisa berfikir jernih, Bagaimana dampak pemberitaan kepada korban pengidap COVID-19, saya baru menemukan bahwa korban tidak senang akan pemberitaan yang ada. Saya berharap pada media-media yang masih sehat dan berfikir jernih mampu memberikan edukasi ilmiah pada masyarakat, serta lebih sering memberitakan kesembuhan para korban ketimbang menyoroti korban yang kritis maupun meninggal dunia.
Rikando Somba, Pemimpin Redaksi Validnews
Keterbukaan informasi untuk publik harus menjadi prioritas. Namun, sebagaimana diatur dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, serta etik moral dan asas kepatuhan pada hukum yang berlaku, peliputan menyoal Coronavirus dan penyebarannya, tetap harus mengindahkan hak-hak individu dan privasi, terutama pihak teridap virus Corona. Mereka selayaknya mendapatkan empati, bukan justru menjadi objek pemberitaan layaknya kriminal yang melakukan kesalahan. Jurnalis harus memberitakan kebenaran dan informasi komprehensif, bukan menyebarkan ketakutan.
Wella Sherlita, Produser iNews TV
Untuk peliputan sebetulnya standard saja, 5W1H itu pasti. Tetapi karena ini menyangkut wabah yang sensitif, tentu ada panduan khusus sebagaimana prosedur peliputan Ebola, SARS, Flu Burung, dan lainnya. Tidak perlu terlalu lebay dan sensasional, yang penting harus informatif, berimbang, dan mengutamakan kepentingan publik, karena media tidak boleh menjadi corong siapapun ketika dilanda wabah penyakit.
Nama dan domisili korban tidak boleh ditulis lengkap. Tabu untuk sebutkan nama karena kami sangat bersedih ketika meliput korban flu burung di Tangsel, itu tidak ada satupun tetangga yg mau datang karena takut tertular. Belum ditambah lagi stigma yang dialamatkan untuk keluarga korban yang masih hidup, makanya tabu untuk menyebutkan nama dan domisili lengkap.
Tonggo Simangunsong, Editor INDOZONE
Seharusnya jurnalis memerhatikan kondisi "suspect", jangan langsung menghakimi mereka dengan menyebut dengan jelas identitias mereka, bahkan merinci secara detail siapa mereka, di mana rumahnya, bahkan menyarankan secara tidak langsung untuk menjauhi mereka. Jurnalis harus memiliki rasa empati, tugas mereka hanya memberitakan sesuai fakta, tidak mencampur liputan dengan perasaan atau sentimen pribadi. Privasi korban, maupun yang masih terduga terinfeksi virus corona, harus dijaga. Media jangan malah seolah menghukum mereka, toh, sebenarnya korban pun tak ingin kejadian yang menimpanya terjadi. Jurnalis juga harus bijak memilih angle yang tujuannya tidak menimbulkan kecemasan dan kepanikan. Saya percaya, apa yang terjadi dengan masyarakat dipengaruhi media. Misalnya, fenomena panic buyer, itu kan informasinya pertama dari media. Mengapa itu bisa terjadi? Itu sangat disayangkan. Informasi yang memunculkan kepanikan dan ketakutan harus diberitakan dengan proporsional.
Soal kepanikan ini, saya melihat ada jurnalis sebuah tv di yang disebarkan media sosial, yang memakai respirator saat melaporkan kejadian dari lokasi suspect virus corona, Depok. Ini sangat berlebihan. Jutaan mata melihat seolah-olah Depok sedang dalam kondisi sangat genting. Padahal, wartawan CGTN di China saat melaporkan cukup memakai masker saja. Ini kan sangat berlebihan dan menimbulkan kecemasan berlebihan juga pada masyarakat. Efeknya, masker menjadi barang yang sangat mahal.
Erwida Maulida, Staf Penulis Nikkei Asian Review
Pasien harus dilindungi privasinya - identitas, foto dan alamat rumah tidak boleh disebutkan dalam pemberitaan. Jurnalis dalam peliputan tidak membahayakan dirinya sendiri (misal mendekati pasien hingga berisiko terjangkit virus). Dalam pemberitaan, media menggunakan kata-kata yg proporsional dan akurat, jangan sampai menambah kepanikan yg tidak perlu.
Aditya Heru Wardhana, Supervising Editor CNN Indonesia TV
Pemberitaan jangan melahirkan bencana di atas wabah. Kepentingan publik selalu diutamakan ketimbang rating, klik atau share. Jurnalis harus memahami perkara coronavirus sembari terus mengikuti perkembangan. Ruang redaksi menimbang setiap berita yang ditayangkan, hindari judul bombastis, pastikan akurasi informasi dan kredebilitas sumber berita. Keselamatan jurnalis musti sangat diperhatikan.
Mahdi Muhammad, Jurnalis KOMPAS
Di Indonesia memang ada masalah dengan perlindungan data pribadi. Tidak hanya di level masyarakat, akan tetapi juga di level pemerintah. Itu kejadian ketika wakil wali kota depok (koreksi kalau saya salah) mengumumkan data dua warganya yang terpapar Covid-19. Media, mulai dari reporter hingga editor harus paham bahwa harus ada perlindungan terhadap pasien-pasien ini. Kita harus ingat betapa comelnya tangan warga dunia maya kita kalau sudah melihat satu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Stigmatisasi. Itu yang perlu dihindari sebagai dampak pemberitaan media.
Bombastis dan clickbait akan berjalan beriringan sekarang ini. Tp, apakah redaksi menginginkan berita-berita yang masuk kategori itu - meski berubah menjadi lembar rupiah atau dollar - membuat kepanikan di masyarakat? Redaksi harus beepikir jernih soal ini sebelum memutuskan menurunkan berita untuk disantap warga.(JH)