JAKARTA - Tidak saja negara Arab, Indonesia pun boikot produk Perancis. Kali ini, seruan itu datang dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Seruan ini diikuti oleh sejumlah ormas Islam. Diantaranya adalah Ikatan Ulama Asia Tenggara dan Wahdah Islamiyah, ormas Islam yang diketuai K.H.Zaitun Rasmin.
Tidak saja boikot, MUI dan ormas Islam meminta pemerintah mengambil sikap tegas dengan memulangkan duta besar RI di Perancis. Wahdah Islamiyah lebih Tegas lagi, menuntut pemerintah mengusir duta besar Perancis dari Indonesia.
Efektifkah seruan MUI? Bergantung! Pertama, akan sangat bergantung seberapa gencar MUI menyuarakan seruan itu. Jika setiap ulama di MUI terus menerus bicara ke media, membuat tulisan, meme dan semacamnya, maka seruan akan berdengung.
Tapi, jika MUI hanya membuat surat pernyataan, setelah itu diam, maka suara MUI hanya akan terdengar lirih dan sayup-sayup. Sekali ditiup isu lain, lenyap seketika. Soal sosialisasi, MUI memang sangat lemah. Mungkin karena MUI gak punya relawan buzzer seperti FPI. Juga gak punya buzzer komersial seperti istana.
Kedua, Bergantung kemampuan MUI melakukan konsolidasi dan mendorong ormas, para tokoh, hingga pejabat negara untuk mendengungkan seruan boikotnya. Untuk ini, MUI perlu secara masif melakukan lobi dan konsolidasi keluar. Umumnya, para ulama di MUI sudah sangat sibuk dengan tugas dan kepentingan organisasinya masing-masing, sehingga konsolidasi keluar atas nama MUI seringkali lemah.
Ketiga, akan jauh lebih berdengung seruan boikot itu jika MUI memimpin langsung "masirah kubra". Kerahkan demo besar-besaran dan mendesak presiden untuk mengambil sikap tegas. Mulai dari membuat pernyataan, memulangkan duta besar RI untuk Perancis, mengusir duta besar Perancis dari Indonesia, hingga boikot produk-produknya. Tapi, apa MUI didengar presiden?
Selama ini, audiensi MUI ke presiden seringkali tidak efektif. MUI tidak punya daya tawar, dan cenderung diabaikan nasehatnya oleh istana. Baru-baru ini, audiensi MUI ke Istana terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja diabaikan. Masukannya ditolak! MUI keluar istana tanpa hasil apapun.
Dalam kasus dukungan penghinaan kepada Nabi oleh presiden Perancis, MUI perlu mempertimbangkan "Masirah Kubra". Demo besar. Pertama, ini akan memberi energi dan dorongan yang kuat kepada pihak istana untuk mengambil sikap tegas. Sampaikan ke Istana, jangan takut jika mobil Esemka diboikot oleh Perancis.
Kedua, demo yang besar akan menjadi sosialisasi yang efektif ke telinga masyarakat. Bahwa MUI menyerukan boikot produk Perancis. Demo akan memastikan bahwa masyarakat mendengar seruan boikot itu.
Ketiga, ini akan memberi pesan kuat kepada masyarakat muslim di seluruh dunia agar mereka ikut melakukan protes keras dan mengkonsolidasikan massa secara besar-besaran untuk memboikot produk-produk Perancis.
Jika fatwa MUI terhadap kasus Ahok mampu menghadirkan tujuh juta massa, apalagi jika MUI dan seluruh ormas Islam turun langsung untuk memimpin demo serta melakukan konsolidasi massa.
Cukup setiap ormas Islam mengerahkan sejuta massa, maka akan berkumpul belasan hingga puluhan juta massa dari Monas sampai Bundaran HI hingga memadati Jl Soedirman-Thamrin Jakarta. Mungkin ini akan menjadi demo terbesar di sepanjang sejarah Indonesia, bahkan dunia.
Jika demo ini dilakukan dan berhasil, maka pabrik milik Perancis di Indonesia bisa tutup, dan impor dari Perancis bisa berhenti. Ini baru akan memberi efek jera kepada Perancis. Sekaligus akan memaksa Immanuel Macron, presiden Perancis meminta maaf.
Masalahnya, MUI berani dan punya nyali tidak? Kalau cuma seruan boikot lewat surat yang diviralkan by PDF di medsos, mungkin banyak yang malas buka. Dijamin gak bakal efektif! Bukan percuma, tapi tidak akan pernah besar pengaruhnya.
Jakarta, 31 Oktober 2020
Tony Rosyid
Pengamat politik dan Pemerhati Bangsa