MAJALENGKA - Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di Negara-negara berkembang menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang dalam operasinya perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumberdaya alam di Negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan Negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan
KARL MAX (1818-1883), seorang filosof dari Jerman telah menganalisis dan mengkritisi masyarakat kapitalis dengan mengatakan bahwa dari segi proses, kapitalisme adalah system ekonomi yang hanya mengakui satu hukum yaitu hukum tawar menawar di pasar. Dengan demikian dalam pandangan Marx, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang bebas, yaitu bebas dari pembatasan oleh penguasa, bebas dari pembatasan produksi. Marx berpendapat bahwa hal yang menentukan dalam kapitalisme adalah keuntungan yang lebih besar. Dari segi output perbedaan kapitalisme dari system produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai
Maksudnya orang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakan, melainkan karena ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Makin banyak keuntungannya makin kuat kedudukannya di pasar.
Max Weber dengan maksud yang sama menyatakan “ capitalism may even be identical with the pursuit of profit and forever renewed profit by means of continuous, rational, capitalistic enterprise”.
Dari pendapat di atas difahami pendapat Mansour Fakih yang menyatakan bahwa secara teoritik Kapitalisme merupakan paham bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) dan penanaman modal (capital investment). Untuk kepentingan pemupukan modal setiap individu didorong untuk bersaing meningkatkan produksi dengan memanfatkan sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam.
Setelah Perang Dunia II, Negara-negara yang terlibat dalam perang tersebut, terutama Eropa Barat, banyak yang mengalami kesulitan ekonomi akibat tingginya biaya perang. Untuk memulihkan kembali kondisi ekonominya akibat perang itu, maka Negara-negara Barat melakukan konsolidasi. Hasil dari konsolidasi itu adalah adanya suatu perubahan dalam hubungan antar Negara di bidang social, ekonomi dan politik
Negara-negara Barat tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik karena tuntutan keadaan Pasca Perang Dunia II. Dengan perkataan lain dominasi kapitalisme tidak lagi diwujudkan dalam penjajahan fisk, tetapi diwujudkan dalam bentuk penjajahan non fisik.
Bangkitnya Negara-negara baru yang merdeka di Kawasan Asia dan Afrika pasca Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, yang mana sebelumnya merupakan Negara-negara bekas jajahan Eropa dan Amerika Serikat menjadi ancaman baru bagi eksistensi paham kapitalisme, karena banyak di antara Negara-negara yang baru merdeka tersebut lebih tertarik pada paham sosialisme untuk melakukan perubahan social.
Di Bidang Ekonomi dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan Negara-negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga ekonomi yang telah dibentuk dimaksud adalah : World Bank yang dibentuk pada tahun 1946, International Monetary Fund (IMF) yang dibentuk pada tahun 1947, General Agrement Tariff and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947.
Hal yang menambah kekhawatiran negara Eropa Barat, pada saat itu Perang Dingin (Cold War) yang mulai melanda dunia. Amerika Serikat dan Eropa Barat menyadari situasi ini, sehingga mereka berusaha keras mendorong para ilmuwan sosial untuk mengembangkan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di Negara-negara Dunia Ketiga, namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri.
Di bidang social mulai dilakukan rekayasa social melalui penyusunan teori-teori social. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke Negara-negara berkembang dan yang baru merdeka adalah teori modernisasi atau teori pemnbangunan yang mulai dikembangkan di Amerika Serikat sejak tahun 1948.
Diintroduksikannya teori modernisasi ke Negara-negara Dunia Ketiga, karena menurutnya Negara Dunia Ketiga merupakan Negara yang masih dalam proses modernisasi khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu yang pernah dialami oleh Negara-negara maju. Teori modernisasi mengidealkan suatu wahana untuk mencapai modernisasi melalui sistem kapitalisme, sehingga pembangunan harus didasarkan pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam konstruksi teori modernisasi peran Negara telah dikurangi seminimal mungkin karena sesuai dengan paham kapitalisme yang sangat meminimalkan peran Negara dalam urusan ekonomi masyarakat dan mengedepankan peran swasta
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di Negara-negara berkembang menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang Besarnya peran korporasi multin nasional di era global sekarang merupakan implemntasi good governance ala negra-negara Barat sejak awal globalisasi pada tahun 1990-an. Dalam konsep ini kekuasaan Negara dibuat lebih terbatas demi kepentingan pasar. Kekuasaan lebih besar dialihkan kepada korporasi multi nasional untuk berpartisipasi dalam pasar bebas dunia.
Baca juga:
Mimpi Hak Kita Semua
|
Maka korporasi multi nasional semakin didesak oleh negaranya untuk menancapkan dominasinya di wilayah manapun dan melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang dalam operasinya perusahaan-perusahaan ini melakukan eksploitasi sumberdaya alam di Negara-negara tersebut. Hasil penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno (1999) yang dibukukan dalam The Reality Behind Corporate Environmentalism, menyimpulkan bahwa sejak masa 1990-an Korporasi-Korporasi Multi Nasional telah berhasil meraih pengaruh atas nernagai urusan Internasional. Korporasi-korporasi multi nasional yang semakin menguasai ekonomi dunia berusaha melestarikan dan memperluas pasar mereka dengan menampilkan diri seperti pelindung dan pelestari lingkungan dan pemimpin penghaspusan kemiskinan.
Hal ini sebetulnya merugikan Negara-negara Dunia Ketiga karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan. Terjadinya kerusakan lingkungan terutama di negara-negara Dunia Ketiga merupakan ancaman dunia yang kemudian melahirkan suatu konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep Pembangunan Berkelanjutan secara kronologi dirumuskan melalui proses yang panjang dimulai dari Konferensi Stockholm 1987 yang secara formal melibatkan banyak Negara-negara Dunia Ketiga . pada KTT Bumi 1992 di Rio De Janiero Brazil. Konsep pembangunan berkelanjutan dibahas kembali oleh lebih 179 negara termasuk Indonesia dan Negara-negara Dunia Ketiga lainnya.
Berdasarkan hal itu Konsep Pembangunan Berkelanjutan merupakan konsep yang berlaku secara universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antar negara berbeda Tetapi setelah World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada September 2002, konsep pembangunan berkelanjutan yang awalnya merupakan konsep yang bersifat universal Pada perkembangannya menjadi konsep yang implementasinya tidak mudah karena adanya perbedaan pandangan antara Negara maju dengan Negara Dunia Ketiga dalam menjabarkan konsep Good Governance untuk menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan. Maka benar bila dikatakan globalisasi dengan segala implikasinya dapat merubah tujuan dari pembangunan berkelanjutan.
(Penulis Yudhi Sumarna.S.Hut.MT/ AW)