MAJALENGKA - Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah muncul dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, contohnya pembebasan tanah untuk berbagai proyek, tanah untuk jaminan kredit, dan jual beli tanah.
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, Negara wajib member jaminan kepastian hokum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena harus tunduk pada kepentingan orang lain, masyarakat, Negara
I. LATAR BELAKANG
Pada setiap tanggal 10 Desember kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Kiranya penting untuk kita ikut memikirkan hak ekonomi setiap manusia, khususnya hak pemenuhuan kebutuhan dasar terhadap papan dan pangan, yakni untuk memeproleh kesempatan yang sama atas perolehan sumber daya tanah serta pembangian hailnya yang adil. Undang-undang Dasar 1945 memberikan jaminan bagi setiap warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 Ayat 2). Untuk mencapai penghidupan yang layak inilah maka hak ekonomi bagi setiap warga Negara harus diperhatikan, dihormati, dan dilindungi.
Dalam kerangka berfikir ini, hak-hak perorangan atas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi selalu ada batasnya, yakni kepentingan orang lain, masyarakat atau Negara. Dengan demikian dituntut penguasaan dan penggunaan tanah secara wajar dan bertanggung jawab, di samping bahwa dalam setiap hak atas tanah yang dipunyai seseorang diletakkan pula kewajiban tertentu. Ada pertanggung jawaban individu terhadap masyarakat melalui terpenuhinya kepentingan bersama/kepentingan umum, karena manusia tidak dapat berkembang sepenuhnya apabila berada diluar keanggotaan masyarakat. Konsep ini diterjemahkan dalam pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan nilai-nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi. Demokrasi politik dapat berkembang lebih mudah dikalangan mereka yang disamping mempunyai pekerjaan juga mempunyai akses terhadap sumber daya tanah
II. KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM
Sebagai konsekuensi pengakuan Negara terhadap hak atas tanah seseorang atau suatu masyarakat hukum adat, maka Negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, sehingga lebih mudah bagi seseorang untuk mempertahankan haknya terhadap gangguan pihak lain. Karena dalam kenyatannya sampai dengan saat ini baru kurang lebih 20 % bidang tanah yang terdaftar, seyogyanya tetap dipertahankan asas bahwa ketiadaan bukti tertulis tidak menjadi penghalang bagi seseorang yang mempunyai hak yang sah untuk membuktikan hak atas tanahnya melalui tata cara pengakuan hak berdasarkan penguasaan secara de facto untuk waktu tertentu.
Di samping upaya pendaftaran tanah secara sitematis, pendaftaran secara sporadis perlu dipertahankan dengan meningkatkan mutu pelayanan aparat sehingga tercapai tujuannnya berupa alat bukti hak yang akurat yang diperoleh dalam jangka waktu dengan biaya yang wajar. Selain pemberian jaminan kepastian hukum tersebut, Negara juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap hak atas tanah yang dipunyai perseorangan atau masyarakat hukum adat.
Merupakan suatu kenyataan bahwa di satu pihak untuk memperoleh sebidang tanah relatif tidak mudah bagi kebanyakan orang, sedangkan di pihak lain terdapat tanah-tanah eks perkebunan, kehutanan ditelantarkan.
Keadaan ini menimbulkan akibat penggarapan rakyat atas areal yang ditelantarkan tersebut. Pada umumnya secara de facto rakyat telah mengerjakannnya secara turun temurun dan tidak jarang hal ini terjadi seijin pemegang hak atau kuasanya, namun secara de jure keadaan tersebut tidak ditindaklanjuti, karena rakyat pada umumnya tidak menyadari pentingnya alat bukti hak itu. Kelemahan yuridis ini akan menimbulkan masalah apabila pada suatu saat areal tersebut akan diambil alih oleh perusahaan lain yang berpegang pada hal-hal yang yuridis formal semata
Tidak jarang pula tanah-tanah dalam areal luas yang telah dibebaskan untuk keperluan perusahaan selama bertahun-tahun yang kemungkinan besar berasal dari tanah pertanian beririgasi, namun belum seluruhnya dimanfaatkan sesuai dengan rencana semula. Hal ini menunjukkan kurangnya tanggung jawab moral dan social dari perusahaan tersebut dengan konsekuensi tentunya harus diambil tindakan berupa pencabutan ijin yang diberikan di atas tanah yang ditelantarkan tersebut dan menjadikan tanahnya sebagai tanah negara yang dapat diberikan kepada pihak lain yang memerlukannya.
Barangkali dapat pula dipikirkan gagasan untuk menerapkan pajak atas tanah kosong terhadap tanah yang tidak dimanafaatkan selama jangka waktu tertentu sebelum tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah terlantar dan menjadi tanah negara. Perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan umum yang secara formal telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu perlu terus ditingkatkan perwujudannya secara konsekuen dan konsisten. Hak dari Negara untuk mengambil tanah-tanah hak untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan, namun penghormatan kepada hak-hak dasar manusia seyogyanya diberikan secara proporsional.
Dalam hal-hal di mana negara turut berperan sebagai actor, Negara berkedudukan sejajar dengan para pemegang hak dan dengan demikian juga harus tunduk pada peraturan/ketentuan yang dibuatnya sendiri. Di luar hal tersebut Negara berperan sebagai pengatur berbagai kepentingan yang ada dan apabila terjadi konflik kepentingan, Negara diharpkan menjadi wasit yang adil. Perspektif berfikir yang diperlukan adalah dipenuhinya hal-hal yang bersifat formal dan substansial dalam mewujudkan hak-hak dasar manusia, karena apabila hal tersebut tridak dilakukan, maka tujuan berupa kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak akan tercapai
III. TANAH BERDASARKAN PERSPEKTIF KEHUTANAN
Baca juga:
BMKG: Potensi Hujan Lebat 3 Hari Ke Depan
|
Dengan Terbitnya Undang-undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 yang didorong oleh kesadaran bahwa keberadaan hutan yang luasnya semakin berkurang itu perlu dikelola secara arif, dan bahwa perkembangan yang pesat dalam penyelenggaraan pembangunan memerlukan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap untuk pembangunan kehutanan saat ini dan yang akan datang. Visi Undang-undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 belum menegaskan keberpihakan pada kepentingan dan perlindungan masyarakat. Hal ini tampak dalam penegasan penguasaan hutan oleh Negara (pasal 4) yang tidak secara eksplisit ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Dominasi kekuasaan Negara ini tercermin di dalam kewenangan pengelolaan kehutanan yang sentralistik dan tidak memberi hak kepada masyarakat untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumberdaya hutan, serta tidak mengakui keberadaan hutan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat. Berbagai kebijakan di bidang kehutanan selama ini yang dilandasi oleh pola pikir di atas telah membawa dampak ketidak adilan di dalam akses terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan
Pengelolaan hutan yang difahami dan dilakukan sebagai penggalian sumber daya hutan secara besar-besaran dalam arti eksploitasi penambangan kayu telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap hutan beserta seluruh lingkungan pendukungnya. Peran Negara yang sentralistik itu dimunculkan dalam wujud pemerintah yang tidak memberi tempat yang wajar bagi masyarakat untuk bersama-sama dengan pemerintah dalam mebuat perencanaan dan melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya hutan. Monopoli kewenangan ini mudah mengaburkan peran Negara untuk “menguasai hutan menjadi memiliki”, dengan segala dampaknya.
Berkaitan dengan perencanaan, dalam pasal 52 Ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa masyarakat berhak untuk mengetahui rencana peruntukan, pemanfaatan hasil hutan dan berperan serta dalam pemberian informasi dan saran dalam pembangunan kehutanan. Hal ini berarti bahwa pemerintah yang menjalankan fungsi perencanaan, masyarakat hanya berhak untuk mengetahui tentang perencaan itu. Konsekuensinya, transparansi dalam proses awal pengelolaan sumber daya hutan yang berdampak besar tidak terjamin, dan masyarakat dipandang sebagai objek dan bukan mitra dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis kerakyatan memberikan hak kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan, penyusunan rencana kehutanan, penetapan kawasan, pemanfaatan, pengusahaan, perlindungan serta rehabilitasi, dan/atau reklamasi hutan. Wujud nyata partisipasi masyarakat paling tidak berupa pemberian persetujuan dan masukan dalam berbagai kegiatan pengelolaan sumber daya hutan. Di samping itu sesuai dengan jiwa otonomi daerah, seyogyanya wewenang pengelolaan sumberdaya hutan diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten. Saat ini sudah saatnya meninggalkan cara pandang bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan merupakan wewenang ekslusif dari instansi kehutanan.
Wewenang pengelolaan sumber daya hutan itu berisi dua hal pokok, yakni : (1) mengatur peruntukan, penetapan dan pemanfaatan sumber daya hutan, dan (2) mengatur hubungan hukum antara orang/badan hukum dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan perbuatan hukum berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya hutan. Wewenang pengelolaan yang bersifat partisipatif itu tidak mutlak tetapi dibatasi oleh tujuannya, yakni untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan dibatasi oleh substansinya, yakni pengaturan tentang pemanfaatan sumber daya hutan.
Cara pandang Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 yang tidak megakui hak-hak masyarakat hukum adat masih mewarnai dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yang membedakan hutan Negara dan hutan milik. Esensinya masih tetap sama, yakni memasukkan hutan adat dalam ruang lingkup hutan Negara. Intinya keberadaan hutan adat itu ternyata menimbulkan kejanggalan dengan diaturnya keberadaan masyarakat hukum adat dalam pasal 51. Di samping janggal pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat utamanya berkaitan dengan penguasaan tanahnya, termasuk sumber daya alam yang berada di wilayahnya, maka tidak ada cara lain kecuali harus menyebut secara eksplisit hutan adat disamping hutan Negara dan hutan milik
IV. PENUTUP
Paradigma lama yang sentralistik telah bergeser kearah desentarlisasi yang memberikan lebih bnayak keleluasaan bagi partisipasi masyarakat untuk membuat keputusan tentang daerahnya masing-masing. Hal-hal yang di masa sebelumnya tidak mendapat ruang gerak untuk memperoleh perhatian pemerintah, bahkan tabu untuk dibicarakan di balik tembok birokrasi, kini menjadi wacana yang mulai dibicarakan secara terbuka. Dalam kaitan dengan UUPA Nomor 5 tahun 1960, konsepsi hak menguasai Negara, eksistensi hak ulayat, pluralisme hukum adalah beberapa contoh isu yang sering mengemukadalam kaitan dengan upaya meninjau kembali UUPA secara kritis.
Untuk menghindari peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral, perlu diwujudkan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam yang akan menjadi paying hukum bagi berbagai peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan salh satu sumber daya alam. Belum adanya peraturan tersebut merupakan hambatan untuk mewujudkan harmonisasi di antara berbagai peraturan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya hutan seyogyanya memebrikan akses yang adil kepada setiap orang dalam pemanfaatan sumber daya hutan termasuk pengelolaannya secara bertanggung jawab.
(Penulis Yudhi Sumarna S.Hut.MT/ AW)