PEMERINTAHAN - Singapura, negara kecil tanpa sumber daya alam yang melimpah, telah berhasil menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat. Padahal, negara ini tidak memiliki kekayaan alam seperti minyak, gas, atau tambang emas yang berlimpah. Singapura membuktikan bahwa keberhasilan tidak selalu bergantung pada luas wilayah atau kekayaan alam, tetapi pada bagaimana mengelola sumber daya yang terbatas dengan kebijakan yang cermat, inovasi, dan keberanian untuk berubah. Lebih dari itu, Singapura telah mencapai titik di mana mereka mampu memberikan pinjaman kepada negara-negara lain, termasuk Indonesia, sebuah negara yang jauh lebih besar baik dari segi sumber daya maupun populasi.
Pertanyaan yang sering muncul di benak masyarakat adalah, mengapa Indonesia, dengan segala potensi yang dimilikinya, belum mampu mengikuti jejak Singapura? Bahkan, dengan status sebagai negara yang lebih besar dan kaya sumber daya alam, Indonesia masih tertinggal dari Singapura dalam hal ekonomi, pendidikan, dan layanan publik. Apakah para menteri dan pejabat Indonesia tidak merasa tertantang oleh keberhasilan Singapura? Atau, apakah rasa malu yang seharusnya memotivasi untuk berbuat lebih baik sudah hilang dalam jajaran kepemimpinan?
Pembelajaran dari Singapura: Kepemimpinan dan Tata Kelola yang Efektif
Keberhasilan Singapura tidak lepas dari kepemimpinan yang kuat dan tata kelola pemerintahan yang efektif. Di bawah pimpinan Lee Kuan Yew, Singapura membangun landasan yang kokoh untuk membentuk masyarakat yang disiplin, profesional, dan berdedikasi tinggi. Transparansi dalam birokrasi, aturan hukum yang ketat, serta pemberantasan korupsi menjadi dasar dari pembangunan ekonomi Singapura. Setiap kebijakan diimplementasikan dengan fokus yang jelas, dengan tujuan mengembangkan kompetensi manusia yang ada dan memastikan bahwa semua warga mendapatkan akses ke pendidikan dan layanan publik berkualitas tinggi.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal birokrasi yang lamban, korupsi yang merajalela, serta kebijakan yang seringkali tidak konsisten. Para pejabat di Indonesia terkadang lebih terfokus pada kepentingan pribadi atau golongan daripada melayani rakyat. Akibatnya, sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tidak berkembang sesuai harapan, meskipun Indonesia memiliki anggaran dan sumber daya yang besar.
Tantangan bagi Para Pemimpin Indonesia: Kebanggaan atau Kepedulian?
Indonesia sebenarnya memiliki banyak individu berbakat dan kompeten di berbagai bidang. Namun, seringkali yang menjadi masalah adalah kurangnya komitmen dari para pejabat tinggi untuk membawa perubahan nyata. Ketika Singapura berhasil membangun reputasi sebagai pusat finansial Asia, Indonesia masih bergulat dengan masalah dasar seperti ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Apakah tidak ada rasa tertantang dalam diri para pejabat Indonesia untuk membawa bangsa ini ke tingkat yang lebih baik? Bukankah sudah saatnya bagi mereka untuk berhenti merasa nyaman dengan situasi saat ini dan mulai belajar dari negara tetangga?
Mungkin, yang diperlukan adalah dorongan baru dari masyarakat dan akuntabilitas yang lebih kuat agar pejabat merasa “malu” jika gagal membawa kemajuan. Di Singapura, kesuksesan dan kegagalan para pemimpin sangat terukur, dan mereka bertanggung jawab penuh atas keputusan yang diambil. Sedangkan di Indonesia, seringkali kita melihat pejabat yang seakan tidak malu meskipun gagal memenuhi janji-janji kepada rakyat. Rasa malu bukan berarti sekadar menanggung kritik, melainkan merasa terdorong untuk membuktikan diri dengan hasil yang nyata.
Membangun Sistem yang Berfokus pada Kualitas dan Keberlanjutan
Pelajaran lain yang dapat diambil dari Singapura adalah pentingnya investasi dalam kualitas sumber daya manusia. Singapura tidak hanya fokus pada pendidikan yang berkualitas, tetapi juga menyediakan pelatihan yang relevan untuk kebutuhan industri dan perekonomian mereka. Kebijakan ini membentuk tenaga kerja yang profesional dan mampu bersaing di kancah internasional. Di Indonesia, anggaran pendidikan sudah cukup besar, namun dampaknya belum terlihat optimal karena seringkali kurangnya perencanaan yang matang dan transparansi dalam pelaksanaannya.
Selain itu, Singapura membangun sistem pemerintahan yang berorientasi pada keberlanjutan. Mereka merencanakan masa depan kota dan negaranya dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang. Indonesia seharusnya mulai meninggalkan kebijakan yang hanya bersifat jangka pendek atau populis dan beralih pada kebijakan yang berorientasi pada masa depan, agar sumber daya alam yang kita miliki dapat dinikmati generasi berikutnya.
Saatnya Belajar dari Negara Kecil Tanpa Sumber Daya
Singapura telah membuktikan bahwa negara kecil tanpa sumber daya alam pun bisa bersaing di tingkat global. Mereka berhasil tidak hanya karena kepemimpinan yang visioner, tetapi juga karena adanya rasa tanggung jawab yang kuat terhadap masa depan rakyatnya. Para pejabat di Indonesia seharusnya bisa merasa tertantang oleh kesuksesan ini dan mulai berpikir untuk menerapkan prinsip-prinsip serupa demi kemajuan bangsa. Bukan sekadar menjadikan jabatan sebagai sarana prestise atau kepentingan pribadi, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab untuk menciptakan Indonesia yang lebih maju, mandiri, dan berdaulat.
Jika para pemimpin Indonesia memiliki rasa malu untuk terus berada di belakang Singapura, mungkin itu akan menjadi motivasi untuk berbenah dan menunjukkan bahwa Indonesia, dengan segala potensi yang dimiliki, mampu sejajar atau bahkan melampaui negara-negara maju.
Jakarta, 13 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi