OPINI - Inget cerita Abu Nawas? Cincin hilang di depan rumah, dicari di ruang tamu. Alasannya, karena depan rumah gelap. Sedang ruang tamu terang. Koplak!
Nah, pemerintah pusat mirip Abu Nawas. Awal Covid-19 masih jadi ancaman, siapin kunyit dan empon-empon. Saat covid-19 sudah betul-betul masuk dan menyerbu, panik soal ekonomi. Ekonomi collaps dan datang resesi, bicara kesehatan.
Presiden siuman, sindir Windhu Purnomo, epidemiolog Universitas Airlangga. Presiden mulai menyadari betapa bahayanya pandemi covid-19. Karena itu, presiden dalam pidatonya mengungkapkan pentingnya saat ini mengutamakan kesehatan.
Menyadari penyebaran covid-19 yang makin masif, Anies Baswedan, gubernur DKI, mengambil langkah cepat. Injek rem dan memberlakukan lagi PSBB secara ketat. Para pembantu presiden teriak: "gara-gara Anies, IHSG anjlok". Para buzzer pun dikerahkan. Piye iki toh mas?
Sejumlah ekonom bilang: IHSG anjlok karena fundamen ekonomi lemah, pertumbuhan minus, rupiah jatuh, investasi menurun, dst. Kenapa yang dusalahin Anies?
Ainun Najib ngetwitt: "Catat manusia-manusia yang lupa kemanusiaannya. Mereka diam ketika angka kematian dokter terus naik (109 orang). Dan teriak ketika angka indeks saham sekali turun".
Negara ini mau dibawa kemana? Mengapa setiap ada masalah bukan fokus pada obyeknya, tapi kerahkan buzzer untuk cari kambing hitam? Bukan penyelesaian yang didapat, tapi kegaduhan.
Mestinya, semua unsur yang ada di pemerintahan pusat, termasuk para menteri, fokus saja bekerja. Identifikasi berbagai masalah, lalu pikirkan dengan serius penyelesaiannya. Jangan kerja, kerja, kerja, tapi gak tahu apa yang harus dikerjakan. Disinilah perlunya gagasan, strategi dan perencanaan yang matang sebelum kerja, kerja, kerja.
Covid-19, ini masalah kesehatan. Menteri kesehatan mestinya di garda terdepan. Kenapa justru gak kelihatan. Sementara pimpinan Satgas bukan dari orang kesehatan. Kalau memang menkes dianggap tak mampu, ganti. Lakukan reshuffle. Presiden punya otoritas. Gak usah nunggu jadual reshuffle berjama'ah. Gak mampu, ganti. Supaya mesin pemerintah bisa beroperasi dengan baik.
Belum lagi soal anggaran. Sudah dibuat dasar regulasinya. Perppu corona diterbitkan. Diperkuat lagi dengan UU No 2/2020. Penanganan corona dan dampaknya dianggarkan khusus, bahkan terus dinaikkan. Dari 405, 1 T jadi 677, 2 T. Naik lagi jadi 686, 2 T. Dan sekarang 905 T. Tapi, kenapa covid-19 tak juga teratasi?
Pertama, dari sisi anggaran menunjukkan pemerintah gak fokus dan gak serius tangani pandeminya. Dari sekitar 905 T, anggaran untuk kesehatan hanya 87, 5 T. Kurang dari 10 persen. Itupun yang lewat kemenkes hanya 25, 7 T. Dengan catatan, tidak ada korupsi. Mosok?
Kedua, karena kerja pemerintah gak terukur. Telat dua bulan terapkan PSBB. Ketika PSBB berlaku april-Mei, angka terinveksi relatif bisa ditekan. Rata-rata per hari 445 orang. Namun, buru-buru diumumkan wacana New Normal. Di bulan Juni, angka terinveksi langsung naik jadi 1.141 rata-rata perhari. Bulan Juli 1.714 perhari. Bulan Agustus naik lagi jadi 2.380 perhari. Dan bulan september ini sudah di atas 3000 rata-rata perhari.
Begitu juga angka kematian. Bulan April-Mei, ada 26 orang mati rata-rata perhari. Eh, muncul wacana New Normal, angka kematian jadi naik. Rata-rata perhari di bulan Juni 49 orang. Bulan Juli 73 orang. Bulan Agustus rata-rata 80 orang. September? Pasti naik.
Tingkat kematian karena covid-19 di Indonesia 4, 1 persen. Sementara rate kematian global hanya 3, 3 persen. Artinya, Indonesia lebih tinggi. Sudah melampaui rate angka kematian dunia.
Dari data ini, wajar jika pandemi covid-19 di Indonesia dianggap menghawatirkan. 59 negara telah melockdown Indonesia. Kabarnya sekarang naik lagi jadi 69 negara.
Lalu salahkan orang lain sebagai kambing hitamnya. Kebijakan Anies, gubernur Jakarta hampir selalu jadi sasaran dan tumbal atas kegagalan pemerintah pusat. Kebijakan Anies injek rem dianggap jadi sumber anjloknya IHSG. Dituduh sengaja ingin membuat ekonomi terpuruk agar Jokowi jatuh. Macam-macam khayalan imajinasinya. Jangan cari cincin di ruang tamu kalau hilangnya di depan rumah bung....
Layakkah Anies jadi kambing hitam berkaitan dengan injek rem PSBB? Perlu data untuk menjawab hal ini. Sekaligus melihatnya dengan cara membandingkan antara data Jakarta dengan data nasional dan global. Dengan melihat data, kita bisa lebih obyektif. Tidak imajinatif!
Menghadapi covid-19, selain meminta warga DKI melakukan 3 M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan, Anies juga membuat strategi 3 T: Testing (PCR), tracing (penelusuran) dan treatmen (penanganan di rumah sakit).
Per tanggal 6 september, ada 716.776 warga DKI dites. Ini berarti per 1 juta orang penduduk Jakarta, ada 76.335 yang dites. Bandingkan di tingkat nasional, per 1 juta penduduk, hanya 5.348 yang dites.
Perpekan, warga DKI yang dites PCR berjumlah 59.146 orang. Jauh di atas batas minimal rekomendasi WHO untuk Jakarta yaitu 10.645 Perpekan.
Hasil tes menunjukkan bahwa Kenaikan kasus positif di tingkat nasional secara total rata-rata 14 persen. Di Jakarta jauh lebih rendah, yaitu 7 persen. Pekan terakhir terjadi kenaikan 19, 5 di tingkat nasional, dan 12, 2 persen di DKI. Melihat trend dan lonjakan angkanya yang makin tinggi, jika Jakarta tak injak rem, maka kenaikan terinveksi dan angka kematian akan semakin menghawatirkan. Data ini juga disadari betul oleh presiden. Hanya saja, presiden belum mengambil langkah.
Berdasarkan data statistik, jika kenaikan positif Covid-19 di Jakarta tidak ada treatmen khusus, (berlaku juga untuk daerah yang lain), maka tanggal 17 september, diperkirakan rumah sakit di DKI tak akan lagi mampu menampung pasien. Anies segera ambil langkah cepat. Injek rem. Berlakukan PSBB ketat.
Kalau begitu, kenapa gak hentikan atau kurangi saja jumlah tes PCR, supaya gak semakin banyak yang ketahuan terinveksi? Itu namanya "Ngabu Nawas" . Dan Anies bukan Abu Nawas.
Lebih baik jadi obyek sasaran dari pada jadi Abu Nawas. Anies pernah bilang: "saya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, salah langkah. Kedua, melangkahi. Saya pilih yang kedua". Rupanya, Anies sudah siap ambil risiko. Asal, tidak salah langkah.
Jakarta, 13 September 2020
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa